Bagi anak dengan autisme, lingkungan sosial sering kali terasa menekan dan menuntut mereka untuk “menyesuaikan diri” agar diterima. Karena ingin menghindari perlakuan tidak menyenangkan atau stigma dari orang lain, banyak anak autis yang akhirnya berusaha menyembunyikan atau menekan perilaku alami mereka. Fenomena ini disebut autistic masking yaitu sebuah upaya untuk terlihat seperti anak-anak lain dengan cara meniru gaya bicara, ekspresi wajah, atau menekan kebiasaan mereka yang khas.
Mengapa Anak Autis Melakukan Autistic Masking?
Sejak kecil, banyak anak autis mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan, seperti diejek, diremehkan, atau bahkan dipaksa untuk berubah agar terlihat lebih “normal.” Akibatnya, mereka merasa perlu berpura-pura agar bisa diterima oleh teman sebaya, keluarga, atau lingkungan sekolah.
Masking bisa muncul dalam berbagai bentuk, misalnya:
- Berusaha tersenyum atau menunjukkan ekspresi wajah tertentu, meskipun sebenarnya mereka tidak memahami situasi.
- Menahan diri untuk tidak melakukan kebiasaan khasnya, seperti mengepakkan tangan (stimming) atau menutup telinga saat suara terlalu bising.
- Memaksa diri untuk berinteraksi dan berbicara dengan cara yang dianggap “wajar,” meskipun hal itu melelahkan bagi mereka.
Tanpa disadari, masking menjadi kebiasaan sehari-hari yang dilakukan demi menghindari komentar negatif atau agar diterima oleh orang lain. Namun, usaha ini sering kali menguras energi secara emosional dan mental.
Dampak Masking terhadap Kesehatan Mental
Walaupun tampaknya membantu anak autis agar lebih mudah berbaur, masking justru bisa membawa dampak buruk bagi kesehatan mental mereka. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin sering seseorang melakukan masking, semakin tinggi risiko mereka mengalami kecemasan, depresi, serta perasaan tidak percaya diri.
Selain itu, masking juga membuat anak autis kesulitan menemukan lingkungan yang benar-benar menerima mereka apa adanya. Mereka mungkin merasa sendirian atau bahkan kehilangan jati diri karena terus berusaha menyesuaikan diri dengan harapan orang lain. Hal ini bisa menyebabkan kelelahan emosional, perasaan terisolasi, hingga menurunnya kualitas hidup mereka.
Pentingnya Menerima Keberagaman Anak dengan Autisme
Alih-alih menuntut anak autis untuk berubah, yang lebih penting adalah menciptakan lingkungan yang menerima mereka apa adanya. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua, guru, dan masyarakat untuk mendukung anak autis tanpa memaksa mereka menyembunyikan jati diri:
Mengenali dan Menghargai Perilaku Alami Anak
Setiap anak autis memiliki cara unik dalam memahami dunia. Daripada melarang mereka melakukan kebiasaan seperti stimming (misalnya mengepakkan tangan atau bergoyang), cobalah untuk memahami bahwa itu adalah cara mereka mengelola emosi dan stres.
Memberikan Ruang Aman untuk Mengekspresikan Diri
Anak autis perlu merasa aman untuk menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi. Orang tua dan guru bisa menciptakan lingkungan yang ramah dengan memberikan dukungan emosional, mendengarkan kebutuhan mereka, dan tidak memaksa mereka mengikuti standar sosial yang tidak sesuai dengan kondisi mereka.
Mengajarkan Orang Lain untuk Lebih Memahami Autisme
Banyak anak autis merasa perlu melakukan masking karena lingkungan sekitar kurang memahami perbedaan mereka. Dengan memberikan edukasi kepada keluarga, teman sebaya, dan guru tentang autisme, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan tidak mudah menghakimi.
Mendukung Identitas Autistik Anak
Anak autis harus merasa bahwa mereka diterima dan dicintai tanpa syarat. Mereka tidak harus berubah menjadi seperti anak lain untuk mendapatkan kasih sayang atau penghargaan dari orang tua dan orang di sekitarnya.
Dengan menciptakan lingkungan yang lebih menerima dan inklusif, anak autis tidak perlu lagi merasa terpaksa menyembunyikan siapa diri mereka sebenarnya. Sebagai orang tua, guru, atau masyarakat, kita bisa membantu mereka tumbuh dengan percaya diri dan bahagia, tanpa harus mengorbankan jati diri mereka.
Referensi