Malang Autism Center

Categories
Artikel ASD Post Utama

Meltdown pada Anak dengan Autisme

Jika Anda memiliki anak dengan autisme, mungkin Anda pernah mengalami situasi di mana anak tiba-tiba menangis, berteriak, atau bahkan menyakiti diri sendiri tanpa alasan yang jelas. Ini bukan sekadar tantrum biasa, tetapi disebut meltdown. Berbeda dengan tantrum yang biasanya terjadi karena anak ingin sesuatu, meltdown terjadi saat anak merasa kewalahan dengan lingkungan atau emosinya sendiri. Sebagai orang tua, menghadapi meltdown pada anak dengan autisme bisa menjadi tantangan besar. Namun, dengan memahami penyebab dan cara mengatasinya, Anda bisa membantu anak mengelola emosinya dengan lebih baik.

Apa Penyebab Meltdown?

Berdasarkan penelitian, ada beberapa hal yang bisa memicu meltdown pada anak dengan autisme:

  1. Stimulasi berlebih, Anak merasa terlalu banyak menerima rangsangan, misalnya suara yang terlalu keras, lampu yang terlalu terang, atau keramaian.
  2. Perubahan rutinitas, Anak dengan autisme sangat bergantung pada rutinitas. Perubahan kecil seperti rute perjalanan yang berbeda atau jadwal yang berubah bisa membuat mereka merasa tidak nyaman.
  3. Kesulitan berkomunikasi, Jika anak kesulitan mengungkapkan keinginannya, mereka bisa menjadi frustrasi dan akhirnya mengalami meltdown.
  4. Kelelahan atau lapar, Anak yang lelah atau lapar lebih rentan mengalami meltdown karena mereka kesulitan mengontrol emosinya.

Tantangan yang Dihadapi Orang Tua

Saat anak mengalami meltdown, orang tua sering menghadapi tantangan dalam tiga aspek utama:

  1. Tantangan fisik, Beberapa anak bisa bersikap agresif, seperti membanting benda atau melukai diri sendiri. Orang tua perlu sigap untuk memastikan keselamatan anak dan orang di sekitarnya.
  2. Tantangan mental, Merasa tidak tahu harus berbuat apa atau merasa gagal sebagai orang tua adalah hal yang umum dirasakan.
  3. Tantangan emosional, Stigma dari masyarakat sering kali membuat orang tua merasa malu atau tertekan ketika anak mengalami meltdown di tempat umum.

Bagaimana Cara Mengatasi Meltdown pada anak autisme?

Ada beberapa cara yang bisa Anda lakukan untuk membantu anak melewati meltdown dengan lebih tenang:

  1. Kenali Tanda-Tanda Awal, Biasanya sebelum meltdown, anak menunjukkan tanda-tanda seperti gelisah, menutup telinga, atau menghindari kontak mata. Jika Anda mulai melihat tanda ini, coba alihkan perhatian anak ke sesuatu yang menenangkannya, seperti mainan favorit atau mendengarkan musik yang disukai.
  2. Beri Tempat yang Aman, Jika memungkinkan, bawa anak ke tempat yang lebih tenang agar ia tidak semakin panik. Ruangan yang redup dan sepi bisa membantu anak lebih cepat tenang.
  3. Tetap Tenang, Anak bisa merasakan emosi orang tuanya. Jika Anda panik, anak mungkin akan semakin stres. Tarik napas dalam, tetap tenang, dan berikan pelukan lembut jika anak menyukainya.
  4. Jangan Memaksa Anak Berkomunikasi, Saat meltdown, anak mungkin tidak bisa berbicara atau menjelaskan apa yang terjadi. Alih-alih memaksa mereka bicara, coba berikan kata-kata yang menenangkan.
  5. Gunakan Strategi Preventif
  • Rutinitas yang Konsisten – Usahakan menjaga jadwal anak agar mereka merasa lebih aman dan nyaman.
  • Latih Kemampuan Komunikasi – Gunakan kartu gambar atau bahasa isyarat sederhana agar anak lebih mudah menyampaikan kebutuhannya.
  • Berikan Istirahat yang Cukup – Anak yang cukup tidur dan makan teratur lebih jarang mengalami meltdown.

Referensi

Yalim, T., & Mohamed, S. (2023). Meltdown in Autism: Challenges and Support Needed for Parents of Children with Autism. International Journal of Academic Research in Progressive Education and Development, 12(1), 850–876.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Pentingnya Memahami Ekspresi Wajah Anak Autism

Ekspresi wajah merupakan salah satu bentuk komunikasi nonverbal yang digunakan manusia untuk menyampaikan emosi dan perasaan. Namun, bagi anak ASD, ekspresi wajah bisa menjadi sesuatu yang sulit dipahami, baik dalam menampilkan emosi mereka sendiri maupun dalam menginterpretasi ekspresi orang lain. Oleh karena itu, memahami ekspresi wajah anak dengan autism menjadi hal yang penting bagi orang tua, pendidik, dan lingkungan sekitarnya.

Mengapa Anak dengan Autism Kesulitan dalam Ekspresi Wajah?

Anak dengan autism sering mengalami kesulitan dalam menghubungkan ekspresi wajah dengan emosi tertentu. Beberapa alasan utama di balik tantangan ini meliputi:

Kesulitan dalam Mengenali Ekspresi Orang Lain

Anak dengan autism mungkin tidak secara otomatis mengenali perbedaan antara ekspresi wajah bahagia, sedih, marah, atau takut. Mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami makna dari ekspresi tersebut.

Ekspresi yang Kurang Terlihat Jelas

Beberapa anak dengan autism menunjukkan ekspresi wajah yang datar atau minim, meskipun mereka sebenarnya merasakan emosi tertentu. Hal ini dapat membuat orang tua atau pengasuh sulit memahami perasaan mereka.

Tantangan dalam Interaksi Sosial

Kesulitan dalam membaca ekspresi wajah sering kali membuat anak dengan autism mengalami kendala dalam interaksi sosial. Mereka mungkin tidak menyadari kapan seseorang sedang marah atau sedih, sehingga respons yang diberikan tidak sesuai dengan situasi.

Mengapa Penting Memahami Ekspresi Wajah Anak dengan Autism?

Meningkatkan Komunikasi

Dengan memahami ekspresi wajah anak, orang tua dan pendidik dapat lebih mudah menangkap perasaan mereka meskipun anak tidak mengungkapkannya secara verbal. Ini akan membantu dalam memberikan respons yang lebih tepat terhadap kebutuhan mereka.

Membantu Anak Menyampaikan Emosi

Beberapa anak dengan autism mungkin kesulitan mengungkapkan perasaan dengan kata-kata. Dengan memperhatikan ekspresi wajah mereka, orang tua dan guru dapat membantu mereka mengembangkan cara lain untuk menyampaikan perasaan mereka, seperti melalui gambar atau bahasa tubuh.

Mendukung Perkembangan Sosial

Memahami ekspresi anak dengan autism membantu lingkungan sekitar dalam membangun hubungan yang lebih baik dengan mereka. Ini juga dapat membantu anak dalam memahami bagaimana berinteraksi dengan orang lain secara lebih efektif.

Cara Membantu Anak dengan Autism 

Gunakan Gambar atau Kartu Emosi

Menggunakan kartu yang menunjukkan berbagai ekspresi wajah dapat membantu anak menghubungkan ekspresi dengan emosi tertentu.

Latihan dengan Cermin

Mengajak anak melihat ekspresi wajah mereka sendiri di cermin sambil mengenali emosi yang sedang dirasakan bisa menjadi cara efektif untuk meningkatkan kesadaran diri mereka.

Gunakan Teknologi dan Aplikasi Interaktif

Saat ini, banyak aplikasi yang dirancang untuk membantu anak dengan autism mengenali ekspresi dan memahami emosi melalui gambar atau video interaktif.

Berikan Dukungan dalam Interaksi Sehari-hari

Orang tua dan pendidik dapat membantu dengan menunjukkan ekspresi wajah mereka secara lebih jelas dan memberikan penjelasan singkat mengenai perasaan yang sedang dirasakan.

Memahami wajah anak dengan autism adalah langkah penting dalam mendukung perkembangan komunikasi dan interaksi sosial mereka. Dengan memberikan perhatian lebih terhadap cara anak mengekspresikan emosi, serta membantu mereka mengenali ekspresi wajah orang lain, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif bagi mereka. Dukungan yang konsisten dan metode yang tepat akan sangat membantu anak dengan autism dalam mengembangkan keterampilan sosial yang lebih baik di masa depan.

Categories
event_reguler Post Utama

Pelatihan Frozen Food di LPK CKW Mulai Berjalan Secara Reguler

LPK Cipta Kriya Wiyasa, lembaga pelatihan kerja di bawah naungan Malang Autism Center (MAC), terus melangkah maju dalam menciptakan ruang belajar dan bekerja yang inklusif bagi pemuda penyandang autisme. Salah satu program unggulan yang kini telah berjalan secara reguler adalah pelatihan pembuatan produk frozen food berbahan dasar lele.

Program ini menjadi bagian penting dari visi MAC untuk membekali peserta dengan keterampilan vokasional yang relevan dengan kebutuhan pasar. Pada periode pelatihan terbaru, sebanyak empat peserta telah mengikuti program ini dan menunjukkan antusiasme yang tinggi dalam setiap sesi. Mereka dilatih untuk mengolah ikan lele menjadi berbagai produk siap masak yang higienis, bergizi, dan memiliki daya tahan simpan yang panjang.

Pelatihan ini dilaksanakan selama dua minggu, dengan intensitas Senin hingga Kamis, total 24 jam pelatihan. Seluruh proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh Mas Guyub, seorang instruktur berpengalaman yang secara sabar dan telaten membimbing peserta dari proses awal hingga tahap pengemasan produk.

On Job Training Pelatihan Frozen Food

Tidak hanya belajar di ruang praktik, para peserta juga langsung diterjunkan ke lapangan melalui program on job training (OJT). Kegiatan ini dilakukan selama bulan Ramadan, bekerja sama dengan inisiatif sosial Nasi Berkah yakni program pembagian makanan berbuka puasa untuk masyarakat yang membutuhkan. Dalam program ini, para peserta bertugas memproduksi menu frozen berbasis lele yang kemudian diolah menjadi hidangan berbuka.

Yang membanggakan, peserta juga mendapatkan fee dari hasil keterlibatan mereka dalam OJT tersebut. Selain menambah pengalaman kerja, insentif ini menjadi bentuk penghargaan atas kerja keras mereka dan menumbuhkan rasa percaya diri untuk terus berkembang.

Program ini tidak hanya memberi keterampilan teknis, tetapi juga mengajarkan kedisiplinan, kerja tim, dan tanggung jawab. Ke depan, LPK Cipta Kriya Wiyasa menargetkan lebih banyak peserta dapat mengikuti pelatihan serupa. Para peserta juga diharapkan mampu memproduksi frozen food secara mandiri, baik secara individu maupun melalui skema koperasi bersama.

MAC berkomitmen untuk terus mendampingi penyandang autisme melalui pelatihan yang bermakna dan berkelanjutan. Tujuannya adalah agar mereka dapat tumbuh menjadi individu yang mandiri, produktif, dan mampu berkontribusi dalam masyarakat.

Kami percaya, setiap individu memiliki potensi luar biasa untuk berkembang dan berdaya. Anda bisa ikut berperan dalam perjalanan mereka menuju kemandirian dengan mendukung program pelatihan di LPK Cipta Kriya Wiyasa.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Autisme dalam Sejarah

Autisme adalah kondisi perkembangan saraf yang mempengaruhi cara seseorang berinteraksi sosial, berkomunikasi, dan berperilaku. Seiring berjalannya waktu, pemahaman tentang autisme terus berkembang. Memang, kondisi ini sering disalahpahami, tetapi kini semakin banyak penelitian yang mengungkap penyebab dan cara mendukung individu autis. Artikel ini akan membahas sejarah autisme pertama kali dikenal hingga pemahaman modern yang kita miliki saat ini.

Autisme di Masa Lalu

Sebelum dunia medis mengenali autisme, individu dengan perilaku berbeda sering disalahartikan. Pada abad ke-18 dan 19, anak-anak yang mengalami kesulitan berbicara atau berinteraksi sosial dianggap memiliki gangguan mental atau bahkan dikaitkan dengan hal mistis.

Salah satu kasus terkenal adalah Victor dari Aveyron, seorang anak pembohong yang ditemukan di hutan Prancis pada awal tahun 1800-an. Ia karakteristiknya menunjukkan autisme seperti kesulitan dalam komunikasi dan kecepatan pada rutinitas tertentu. Jean-Marc Gaspard Itard, seorang dokter Prancis, mencoba mendidiknya, yang kemudian menjadi salah satu studi awal tentang gangguan perkembangan.

Autisme Mulai Dikenali Secara Medis

Istilah “autisme” pertama kali diperkenalkan oleh Eugen Bleuler, seorang psikiater Swiss, pada tahun 1911. Namun, saat itu ia menggunakannya untuk menggambarkan gejala dalam skizofrenia. Pemahaman tentang autisme sebagai kondisi yang berbeda baru muncul di pertengahan abad ke-20.

  • Tahun 1943

Leo Kanner, seorang psikiater Amerika, meneliti 11 anak dengan kesulitan sosial dan perilaku berulang. Ia menyebut kondisi ini sebagai “gangguan autistik kontak afektif”, yang menjadi dasar pemahaman tentang Autism Spectrum Disorder (ASD).

  • Tahun 1944

Hans Asperger, seorang dokter Austria, mengamati anak-anak dengan karakteristik serupa tetapi memiliki kemampuan bahasa yang baik. Hal ini kemudian dikenal sebagai Sindrom Asperger.

Autisme di Era Modern

Pada tahun 1980-an, autisme secara resmi diakui sebagai gangguan perkembangan dalam DSM-III (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders). Seiring berjalannya waktu, penelitian menunjukkan bahwa autisme memiliki spektrum yang luas, sehingga pada tahun 2013, DSM-5 mengklasifikasikan ulang berbagai kategori autisme ke dalam satu istilah: Autism Spectrum Disorder (ASD).

Kini, autisme dipahami bukan sebagai penyakit yang harus dibudidayakan, melainkan bagian dari keberagaman cara kerja otak manusia ( neurodiversity ). Banyak individu autis yang memiliki keunggulan unik di berbagai bidang seperti seni, teknologi, atau sains. Kesadaran ini membantu mengurangi stigma dan meningkatkan penerimaan terhadap individu autis.

Dari kondisi yang dulu sering disalahpahami hingga kini diakui sebagai bagian dari keberagaman manusia, pemahaman tentang autisme telah berkembang pesat. Orang tua yang memiliki anak autis kini dapat mengakses lebih banyak sumber daya dan dukungan untuk membantu mereka berkembang sesuai potensinya.

Memahami perjalanan sejarah autisme ini dapat membantu kita lebih menerima dan mendukung anak-anak kita dengan lebih baik. Dengan dukungan yang tepat, anak autis dapat tumbuh dan memiliki masa depan yang cerah.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Memahami Tiga Tingkat Keparahan ASD

Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan kondisi perkembangan saraf yang mempengaruhi interaksi sosial, komunikasi serta perilaku individu. Berdasarkan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke-5), ASD tidak lagi mempersempit diagnosis yang berbeda seperti Asperger’s Syndrome atau PDD-NOS, melainkan sebagai satu spektrum dengan tiga tingkat keparahan.

Berikut penjelasan tiga Tingkat keparahan pada Autism Spectrum Disorder (ASD):

Level 1 – Membutuhkan dukungan (Membutuhkan Dukungan)

Individu dengan ASD level 1 memiliki kesulitan dalam interaksi sosial tetapi masih bisa berkomunikasi secara verbal. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam memulai percakapan, mempertahankan interaksi sosial, atau memahami peraturan sosial. Selain itu, mereka juga memiliki pola perilaku repetitif dan minat yang terbatas, meskipun dalam tingkat ringan.

Pada level ini, diperlukan intervensi, yaitu :

  • Terapi perilaku kognitif (CBT) untuk membantu dalam mengelola kecemasan sosial dan fleksibel dalam berpikir.
  • Pelatihan keterampilan sosial, untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain.
  • Dukungan akademik atau pekerjaan, untuk membantu mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah atau tempat kerja.
  • Terapi okupasi, untuk membantu mengatasi pertahanan sensorik dan aktivitas sehari-hari.

Level 2 – membutuhkan dukungan substansial (Membutuhkan Dukungan Substansial)

Pada Tingkat ini, individu menunjukkan yang lebih signifikan dalam komunikasi sosial dan interaksi. Mereka mungkin hanya bisa melakukan percakapan terbatas atau memiliki ekspresi emosional yang kaku. Selain itu, mereka memiliki perilaku berulang yang lebih mencolok, seperti terus kuat pada rutinitas atau reaksi berlebihan terhadap perubahan lingkungan.

Pada level ini, diperlukan intervensi, yaitu :

  • Terapi wicara dan komunikasi, untuk membantu dalam penggunaan bahasa verbal maupun nonverbal.
  • Analisis perilaku terapan (ABA), untuk membantu mengurangi perilaku berulang yang menghambat serta meningkatkan keterampilan sosial.
  • Terapi okupasi dan sensorik, untuk menangani sensitivitas sensorik yang berlebihan, atau kurang responsif terhadap rangsangan lingkungan.
  • Pendekatan Pendidikan khusus, agar anak dapat belajar secara optimal.

Level 3 – membutuhkan dukungan yang sangat substansial (Membutuhkan Dukungan yang Sangat Substansial)

Individu dengan ASD Level 3 mengalami kesulitan komunikasi sosial yang sangat signifikan. Mereka mungkin memiliki keterbatasan berbicara atau bahkan nonverbal sama sekali. Pola perilaku berulang sangat mengganggu aktivitas sehari-hari, dan mereka sering kali mengalami kesulitan besar dalam beradaptasi dengan perubahan.

Pada level ini, diperlukan intervensi, yaitu :

  • Pendekatan komunikasi alternatif seperti PECS (Picture Exchange Communication System) atau perangkat AAC (Augmentative and Alternative Communication).
  • Terapi perilaku intensif, seperti ABA dalam durasi yang lebih lama, untuk membantu mengembangkan keterampilan dasar komunikasi dan sosial.
  • Terapi okupasi dan sensorik untuk mengatasi tantangan dalam respon sensorik, baik itu hipersensitivitas maupun hipersensitivitas.
  • Dukungan penuh bantuan dalam aktivitas sehari-hari, termasuk dalam keterampilan hidup mandiri seperti berpakaian, makan, dan kebersihan diri.

Setiap individu penderita ASD memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, tergantung pada tingkat keparahannya. Dengan intervensi yang tepat, mereka dapat mengembangkan keterampilan yang memungkinkan mereka beradaptasi dengan lingkungan sosial dan kehidupan sehari-hari. Dukungan dari keluarga, terapis, dan tenaga pendidik sangat penting untuk membantu individu penderita ASD mencapai potensi terbaik mereka.

Referensi

Posar, A., Resca, F., & Visconti, P. (2015). Autisme menurut manual diagnostik dan statistik gangguan mental edisi ke-5: Perlunya perbaikan lebih lanjut. Jurnal Neurosains Pediatrik, 10 (2), 146–148.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Strategi Self Care Bagi Orang Tua ASD

Mengasuh anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan tantangan yang besar bagi orang tua seringkali juga dapat menimbulkan stres. Banyak orang tua mengalami kesulitan menerapkan strategi perawatan diri (self care), meskipun hal ini penting untuk kesejahteraan mereka. Melakukan perawatan diri bukanlah tindakan egois, melainkan sebuah kebutuhan agar orang tua tetap sehat fisik dan mental dalam merawat anak ASD. Dengan menerapkan strategi Self Care Bagi Orang Tua ASD dapat mengurangi stres serta meningkatkan kesejahteraan mereka. Perawatan diri tidak harus dilakukan secara besar-besaran atau mahal. Yang terpenting adalah menyadari bahwa menjaga diri sendiri merupakan langkah pertama untuk bisa merawat anak dengan lebih baik.

Orang tua dari anak ASD sering menghadapi tekanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua anak non-ASD. Faktor seperti kondisi anak, kurangnya dukungan sosial dan keterbatasan waktu sering kali menjadi hambatan utama dalam merawat diri sendiri. Oleh karena itu, memahami dan menerapkan strategi perawatan diri sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan emosional dan fisik orang tua.

Strategi Self Care Bagi Orang Tua ASD

Perawatan Diri Fisik

Perawatan diri fisik fokus pada menjaga kesehatan tubuh agar tetap kuat dan bugar. Ini penting karena kelelahan fisik dapat berdampak langsung pada kesejahteraan emosional dan psikologis orang tua. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk melakukan perawatan diri fisik adalah dengan makan teratur dan sehat, berolahraga, tidur yang cukup dan mengambil cuti atau berlibur.

Perawatan diri psikologis

Perawatan diri psikologis bertujuan untuk menjaga kesehatan mental dan mengelola stres yang dihadapi orang tua dalam mengasuh anak ASD. Hal yang dapat dilakukan orang tua untuk merawat diri secara psikologis yaitu dengan menulis perasaan dan pengalaman sehari-hari, melakukan relaksasi, menghabiskan waktu bersama pasangan.

Perawatan Diri Emosional

Perawatan ini membantu orang tua untuk mengatur dan mengalirkan emosi mereka secara sehat. Hal yang dapat dilakukan orang tua yaitu dengan berinteraksi dengan orang terdekat, menonton atau membaca hal yang disukai, bergabung dalam kelompok atau komunitas serta mengizinkan diri sendiri untuk menangis.

Perawatan diri spiritual

Perawatan ini fokus pada ketenangan batin dan penguatan nilai-nilai spiritual yang dapat membantu orang tua tetap optimis dan semangat. Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan berdoa dan berdoa mendekatkan diri kepada Tuhan.

Perawatan diri di tempat kerja

Bagi orang tua yang bekerja, menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sangat penting agar tidak kelelahan secara mental dan emosional. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur jeda saat bekerja, tidak membawa pekerjaan ke rumah serta membuat tempat kerja agar fokus dan maksimal dalam bekerja.

 

Referensi

Gorsky, SM (2014). Strategi perawatan diri di antara orang tua yang memiliki anak yang didiagnosis dengan Gangguan Spektrum Autisme (tesis Magister, California State University, San Bernardino). CSUSB ScholarWorks.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Applied Behavior Analysis untuk Anak dengan Autisme

Apa itu ABA?

Applied Behavior Analysis (ABA) adalah metode terapi yang banyak digunakan untuk anak dengan Autism Spectrum Disorder dalam mempelajari keterampilan baru dan megurangi perilaku yang menghambat perkembangan mereka. Metode ini didasarkan pada prinsip bahwa perilaku dapat dipelajari dan ditingkatkan melalui penguatan positif. Dengan kata lain, jika anak mendapatkan pujian atau hadiah setelah melakukan sesuatu yang baik, mereka cenderung akan kembali ke perilaku tersebut.

Manfaat Applied Behavior Analysis (ABA) untuk anak Autsime

Applied Behavior Analysis (ABA) dapat membantu anak dalam berbagai aspek, seperti :

  • Meningkatkan kemampuan bicara dan komunikasi

Anak dapat belajar cara meminta sesuatu dengan kata-kata, Gerakan atau gambar.

  • Meningkatkan keterampilan sosial

Anak mengajarkan bagaimana berinteraksi dengan orang lain, seperti bermain dengan teman sebaya mereka.

  • Meningkatkan keterampilan aktivitas sehari-hari

Seperti makan sendiri, mencuci dan menjaga kebersihan diri sendiri.

  • Mengurangi perilaku yang menghambat perkembangan

Seperti tantrum, agresi atau kebiasaan berulang yang dapat menganggu aktivitas sehari-hari ataupun kehidupan sosialnya.

Metode yang digunakan dalam Applied Behavior Analysis (ABA)

Setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga terapi ABA akan disesuaikan dengan kondisi yang mereka butuhkan. Berikut beberapa metode yang sering digunakan dalam ABA :

  • Discrete Trial Training (DTT) – Melatih anak secara bertahap dalam lingkungan yang terstruktur. Misalnya, anak diajarkan menyebut warna dengan cara yang sederhana dan berulang.
  • Pivotal Response Training (PRT) – Mengajarkan keterampilan dalam suasana yang lebih santai dan alami, seperti bermain sambil belajar.
  • Functional Communication Training (FCT) –Membantu anak menemukan cara berkomunikasi yang lebih efektif agar tidak kecewa, misalnya dengan menggunakan kartu bergambar jika belum bisa bicara

Tantangan dalam Applied Behavior Analysis (ABA)

Meskipun ABA terbukti efektif, ada beberapa tantangan yang mungkin dihadapi orang tua, antara lain :

  • Biaya yang cukup mahal – Tidak semua terapi ABA ditanggung oleh asuransi atau bantuan pemerintah.
  • Tidak semua anak cocok dengan ABA – Setiap anak unik, dan mungkin ada metode lain yang lebih sesuai.
  • Kontroversi di komunitas autisme – Beberapa orang menilai ABA terlalu menekankan perubahan perilaku tanpa memperhatikan kenyamanan anak. Namun, saat ini ABA lebih fokus pada pendekatan yang ramah dan positif.

Terapi ABA dapat menjadi pilihan yang baik untuk membantu anak autis mempelajari keterampilan baru dan menjalani kehidupan yang lebih mandiri. Namun, penting bagi orang tua untuk mencari yang tepat, memilih terapi yang berkualitas, dan memastikan bahwa terapi dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan menghormati informasi anak.

Referensi

Anderson, A., & Carr, M. (2021). Analisis perilaku terapan untuk autisme: Bukti, isu, dan hambatan implementasi. Laporan Gangguan Perkembangan Terkini, 8 (3), 191–200.

Gitimoghaddam, M., Chichkine, N., McArthur, L., Sangha, SS, & Symington, V. (2022). Analisis perilaku terapan pada anak-anak dan remaja dengan gangguan spektrum autisme: Tinjauan cakupan. Perspektif tentang Ilmu Perilaku, 45 (3), 521–557

Categories
Artikel ASD Post Utama

Tantrum Pada Sindrom Aperger dan HFA

Tantrum pada Sindrom Asperger (AS) dan Autism Tingkat Tinggi (HFA) merupakan respon emosional yang sering terjadi. Tantrum bukanlah tindakan acak, melainkan bagian dari siklus tiga tahap yaitu rumbling, range dan recovery. Setiap tahap memiliki ciri khas dan memerlukan intervensi yang berbeda. Sehingga penting untuk memahami tantrum pada sindrom aperger dan HFA agar dapat memberikan intervensi yang tepat. 

Tahapan Tantrum Sindrom Aperger dan HFA

Tahap Rumbling

Tahap ini ditandai dengan adanya perubahan perilaku awal yang tampak kecil, seperti mengetuk kaki, menggenggam tangan, atau menarik diri secara emosional. Sehingga, jika dibiarkan perilaku ini dapat berkembang menjadi ledakan emosi. Adapun intervensi yang dapat dilakukan yaitu : antisipectic bouncing (mengalihkan anak dari situasi yang memicu stres), proximity control (sedak secara fisik namun tidak memaksa) dan signal interfence (memberikan sinyal non-vernal untuk membantu anak menyadari emosinya).

Rentang tahap

Jika sudah dilakukan intervensi pada tahap sebelumnya namun gagal, anak telah memasuki tahap Range. Di sini, anak mungkin menampilkan perilaku agresif seperti berteriak, memukul, atau merusak barang. Fokus utama adalah memastikan keselamatan anak dan orang di sekitarnya. Pada tahap ini, intervensi terbaik adalah membawa anak ke tempat yang tenang seperti home base untuk menenagkan diri.

Tahap pemulihan

Setelah ledakan emosi, anak memasuki tahap pemulihan. Anak mungkin akan merasa lelah, menyesal atau bahkan tidak mengingat apapun yang terjadi. Pada tahap ini, penting untuk mengembalikan anak ke rutinitas normal secara perlahan dan melibatkan anak dalam aktivitas yang disukai untuk memulihkan suasana hati.

Pencegahan Tantrum Sindrom Aperger dan HFA

Pencegahan tantrum merupakan langkah proaktif untuk membantu anak dengan sindrom aspeger (AS),  Autism Tingkat tinggi (HFA) dan gangguan terkait agar dapat mengelola stress mereka lebih baik. Strategi ini mencakup peningkatan sosial, kesadaran sensorik, dan kesadaran diri.

Peningkatan pemahaman sosial

Anak-anak dengan AS dan HFA sering menghadapi kesulitan dalam memahami aturan sosial, memecahkan masalah sosial, dan merespons situasi dengan tepat. Metode untuk meningkatkan pemahaman ini meliputi:

  • Cartooning (Pencatatan Visual)

Anak diajarkan menggunakan gambar atau komik sederhana untuk memahami skenario sosial yang kompleks. Gambar dapat membantu mereka mengenali emosi, memahami percakapan, atau mengidentifikasi konsekuensi tindakan mereka. Teknik ini sangat efektif untuk anak-anak yang memiliki gaya belajar visual.

  • Social Autopsies

Strategi ini dilakukan setelah anak mengalami kesalahan sosial. Dalam proses ini

  1. Anak dan pendamping mengidentifikasi apa yang salah.
  2. Mereka menentukan siapa yang dirugikan.
  3. Merumuskan cara memperbaiki kesalahan.
  4. Menyusun rencana untuk mencegah kesalahan serupa di masa depan.

Pendekatan ini membantu anak memahami sebab-akibat dalam interaksi sosial dan meningkatkan kemampuan mereka dalam beradaptasi.

Kesadaran sensorik

Banyak anak dengan AS dan HFA memiliki sensitivitas terhadap rangsangan sensorik, seperti suara, cahaya, atau tekstur. Ketidakseimbangan sensorik ini sering kali menjadi pemicu tantrum. Metode untuk meningkatkan kesadaran sensorik meliputi:

  • Program “How Does Your Engine Run?”

Program ini mengajarkan anak untuk mengenali tingkat kewaspadaan sensorik mereka (terlalu rendah, terlalu tinggi, atau seimbang) dan mengajarkan cara mengatur diri agar mencapai tingkat kewaspadaan optimal. Contoh: Anak belajar mengenali kapan mereka merasa “terlalu bersemangat” dan menggunakan teknik seperti pernapasan dalam untuk menenangkan diri.

  • Pendekatan Sensorik dalam Kehidupan Sehari-Hari

Orang tua dan guru dapat menggunakan metode sederhana seperti menyediakan mainan sensorik (misalnya bola stres) atau menciptakan ruang tenang (home base) untuk membantu anak menenangkan diri.

Kesadaran Diri

Kesadaran diri membantu anak mengenali emosi mereka, memahami tanda-tanda awal stres, dan menggunakan strategi untuk mengatasi emosi secara mandiri. Beberapa metode yang efektif adalah:

  • Incredible 5-Point Scale

Metode ini membantu anak mengklasifikasikan tingkat emosi atau stres mereka pada skala 1-5. Contoh

  1. Level 1: Tenang dan bahagia.
  2. Level 3: Mulai merasa frustrasi.
  3. Level 5: Sangat marah dan mendekati tantrum.

Setelah mengenali tingkat emosinya, anak diajarkan strategi untuk menenangkan diri pada setiap level, seperti menarik napas dalam atau meminta waktu sendiri.

  • Pengenalan Emosi dengan Cues Visual

Anak diajarkan mengenali tanda-tanda emosional melalui ekspresi wajah, bahasa tubuh, atau situasi tertentu. Ini membantu mereka lebih peka terhadap emosi mereka sendiri dan orang lain.

  • Pelatihan Relaksasi

Teknik relaksasi seperti pernapasan ringan, pernapasan dalam, atau yoga sederhana dapat diajarkan untuk mengurangi tingkat stres anak.

 

Referensi

Myles, B. S., & Southwick, J. (2005). The cycle of tantrums, rage, and meltdowns in children and youth with Asperger syndrome, high-functioning autism, and related disabilities. Paper presented at the Inclusive and Supportive Education Congress, International Special Education Conference, Glasgow, Scotland. Retrieved from http://www.isec2005.org.uk

Categories
event_reguler Post Utama

Soft Launching Lembaga Pelatihan Kerja Disabilitas Oleh MAC

Memasuki tahun 2025, Malang Autism Center (MAC) kembali menegaskan komitmennya dalam memberdayakan anak-anak dengan gangguan spektrum autisme (ASD). Kali ini, melalui peluncuran Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Disabilitas “Cipta Kriya Wiyasa”, MAC memberikan kesempatan yang lebih luas bagi anak-anak autis untuk mengembangkan keterampilan praktis yang siap digunakan dalam dunia kerja. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup anak autis dengan menyediakan pelatihan yang relevan dan sesuai dengan kemampuan mereka.

Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Disabilitas “Cipta Kriya Wiyasa” dirancang dengan pendekatan yang inklusif, mengutamakan pemberdayaan melalui keterampilan praktis yang dibutuhkan di berbagai sektor industri. Pada fase awal, lembaga ini menawarkan tiga program pelatihan unggulan: Office Boy (OB), Pengolahan Frozen Food, dan Fotografi. Program-program ini diadaptasi sesuai dengan standar LPK pada umumnya, namun disesuaikan dengan kebutuhan khusus anak-anak penyandang disabilitas, untuk membantu mereka mengembangkan potensi diri secara optimal.

Keunikan pelatihan di LPK “Cipta Kriya Wiyasa” terletak pada pendekatan yang mengutamakan pembelajaran berbasis keterampilan. Selain itu, peserta juga mendapatkan dukungan emosional dan psikologis agar merasa nyaman dan percaya diri dalam mengikuti program pelatihan. Dengan kurikulum yang disusun khusus, anak-anak dapat mempelajari keterampilan aplikatif untuk dunia kerja dan mempersiapkan mereka hidup lebih mandiri.

Setelah sukses menjalani soft launching pada awal tahun 2025, LPK “Cipta Kriya Wiyasa” akan melaksanakan peluncuran resmi pada 20 Februari 2025. Peluncuran penuh ini bertujuan agar lebih banyak anak-anak penyandang disabilitas, terutama dengan gangguan spektrum autisme, dapat merasakan manfaat program pelatihan. Dengan ini, diharapkan lebih banyak anak-anak dapat berkembang melalui kesempatan yang diberikan.

Keberhasilan MAC dalam Pendidikan Anak Disabilitas sebagai Dasar Pembentukan Lembaga Pelatihan Kerja Disabilitas

Sejak berdiri pada Oktober 2015, Malang Autism Center (MAC) fokus pada terapi perilaku dan pendidikan anak-anak dengan gangguan spektrum autisme (ASD). MAC menggunakan metode Applied Behavior Analysis (ABA) yang terbukti efektif dalam mengembangkan keterampilan sosial, komunikasi, dan perilaku adaptif. Metode ini membantu anak autis mempersiapkan diri untuk kehidupan sehari-hari dengan lebih baik.

MAC mengusung konsep pesantren atau berasrama, menyediakan lingkungan yang aman, terstruktur, dan kondusif bagi anak-anak ASD. Lingkungan ini didukung oleh tim terapis dan pendidik yang berkompeten di bidangnya. Berlokasi di Jl. Manggar No. 08, Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, MAC berkomitmen memberikan layanan terbaik agar anak-anak ASD dapat mencapai kemandirian dan kualitas hidup yang lebih baik.

Hingga saat ini, MAC telah berhasil meuluskan 25 anak melalui program pelatihan berbasis asrama. Para lulusan MAC tidak hanya mendapatkan keterampilan praktis, tetapi juga bimbingan untuk menjadi individu yang mandiri dan percaya diri. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa anak-anak penyandang disabilitas dapat mencapai potensi terbaik mereka. Dengan pendekatan yang tepat, mereka dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.

Dengan diluncurkannya LPK “Cipta Kriya Wiyasa”, MAC berharap dapat memperluas dampak positif dari program pelatihannya. LPK ini juga memberikan kesempatan bagi lebih banyak anak autis untuk berkembang sesuai dengan bakat dan minat mereka. Ini adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan memberikan kesempatan adil bagi setiap individu, terlepas dari keterbatasan.

Categories
Artikel ASD Edukasi MAC Post Utama

Peran Pendidikan Inklusif untuk Anak dengan Autisme

 

Peran pendidikan inklusif
Peran pendidikan inklusif

Cari tau artikel lainya

Pendidikan inklusif semakin penting bagi anak-anak dengan autisme. Artikel ini akan membahas bagaimana pendidikan inklusif dapat memberikan manfaat besar bagi anak-anak dengan autisme, seperti interaksi sosial yang lebih baik, rasa percaya diri yang meningkat, dan pengembangan keterampilan hidup. Selain itu, kita juga akan membahas tantangan yang dihadapi dalam penerapan pendidikan inklusif.

Apa itu Pendidikan Inklusif?

Pendidikan inklusif adalah pendekatan di mana anak-anak dengan berbagai kebutuhan, termasuk anak dengan autisme, belajar bersama dalam kelas yang sama. Tidak ada pemisahan berdasarkan kemampuan atau kondisi. Anak-anak dengan autisme belajar dalam lingkungan umum dengan dukungan khusus yang mereka butuhkan. Dengan pendekatan ini, semua anak mendapatkan kesempatan yang setara untuk berkembang.

Pendidikan inklusif untuk anak autisme menekankan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini menciptakan ruang belajar yang mendukung perkembangan sosial, emosional, dan akademik mereka. Dengan kata lain, pendidikan inklusif tidak hanya bertujuan untuk mendukung anak-anak dengan autisme, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan yang lebih terbuka dan saling menghargai.

Manfaat Pendidikan Inklusif untuk Anak dengan Autisme

Pendidikan inklusif memberikan banyak manfaat bagi anak-anak dengan autisme. Berikut adalah beberapa manfaat utama yang dapat diperoleh:

1. Peluang Interaksi Sosial yang Lebih Baik

Anak-anak dengan autisme sering mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial. Namun, dalam lingkungan inklusif, mereka memiliki kesempatan lebih banyak untuk belajar dari teman-teman sekelas, berpartisipasi dalam kegiatan bersama, dan mengembangkan keterampilan sosial. Hal ini sangat penting karena interaksi sosial adalah aspek yang dapat diperoleh secara lebih alami di lingkungan yang inklusif.

2. Meningkatkan Rasa Percaya Diri

Di dalam kelas inklusif, anak-anak dengan autisme merasa dihargai dan diterima oleh teman-teman mereka. Rasa diterima ini dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka dan membantu mengurangi perasaan terisolasi yang sering kali mereka alami. Selain itu, mereka belajar untuk lebih menghargai diri sendiri dan kemampuan mereka.

3. Pendekatan Pembelajaran yang Disesuaikan

Pendidikan inklusif menggunakan metode pembelajaran yang fleksibel dan personal, disesuaikan dengan kebutuhan setiap anak. Anak dengan autisme mendapat manfaat dari pendekatan yang dirancang khusus untuk mereka, seperti bantuan visual atau rutinitas yang terstruktur. Dengan pendekatan yang lebih individual, mereka dapat belajar dengan cara yang lebih sesuai dengan gaya dan kebutuhan mereka.

4. Pengembangan Keterampilan Hidup

Selain keterampilan akademik, pendidikan inklusif juga berfokus pada pengembangan keterampilan hidup yang penting bagi anak-anak dengan autisme. Mereka belajar bagaimana berinteraksi secara sosial, mengelola situasi sehari-hari, dan bekerja sama dengan orang lain. Keterampilan ini akan sangat bermanfaat bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari dan di luar sekolah.

5. Masyarakat yang Lebih Inklusif

Pendidikan inklusif tidak hanya bermanfaat bagi anak-anak dengan autisme, tetapi juga bagi anak-anak tanpa autisme. Dengan belajar bersama, anak-anak tanpa autisme belajar untuk menghargai keberagaman, yang mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap individu dengan autisme. Oleh karena itu, pendidikan inklusif juga menciptakan masyarakat yang lebih terbuka dan saling menerima.

Tantangan dalam Penerapan Pendidikan Inklusif

Namun, meskipun pendidikan inklusif membawa banyak manfaat, ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan dalam penerapannya. Berikut adalah beberapa tantangan utama yang sering dihadapi:

1. Pelatihan Guru

Salah satu tantangan terbesar dalam pendidikan inklusif adalah memastikan bahwa guru memiliki keterampilan dan pengetahuan yang cukup untuk mendukung kebutuhan anak-anak dengan autisme. Oleh karena itu, guru membutuhkan pelatihan khusus agar dapat mengelola kelas inklusif dengan efektif dan memberikan dukungan yang sesuai untuk setiap anak.

2. Penyesuaian Kurikulum

Menyesuaikan kurikulum agar sesuai dengan semua siswa bisa menjadi tantangan besar. Kurikulum harus dirancang sedemikian rupa agar memungkinkan anak dengan autisme belajar sesuai dengan kemampuan mereka, sambil tetap terlibat dalam kegiatan kelas yang lebih umum. Hal ini sering kali membutuhkan penyesuaian dalam metode pengajaran dan penggunaan alat bantu pembelajaran yang tepat.

3. Manajemen Kelas yang Kompleks

Pengelolaan kelas yang efektif sangat penting dalam lingkungan inklusif. Guru harus mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan siswa dengan autisme dan siswa tanpa autisme. Ini membutuhkan keterampilan dalam mengelola dinamika kelas yang kompleks dan memastikan bahwa setiap anak mendapatkan perhatian yang sesuai dengan kebutuhannya.

Referensi

Schuelka, M. J., & Lapham, K. (2019). Comparative and International Inclusive Education: Trends, Dilemmas, and Future Directions. In C. C. Wolhuter (Ed.), Annual Review of Comparative and International Education 2018 (Vol. 37). Emerald Publishing. 

Mkwizu, K. H., & Bordoloi, R. (2024). Augmented reality for inclusive growth in education: The challenges. Asian Association of Open Universities Journal.

Buka WhatsApp
Klik Untuk Ke Wa
Halo! Apa yang bisa saya bantu