Malang Autism Center

Categories
Artikel ASD

Mengenal Stimming pada Autisme

Banyak orang tua mungkin pernah melihat anak mereka menggoyangkan tangan, membungkus tubuh, atau mengulang suara tertentu tanpa alasan yang jelas. Perilaku ini disebut stimming, yaitu gerakan atau kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang untuk mengatasi berbagai rangsangan sensorik dan emosional. Stimming umum terjadi pada individu dengan autisme, namun masih sering disalahpahami sebagai perilaku yang perlu dihentikan.

Apa Itu Stimming pada Autisme?

Stimming adalah kependekan dari self-stimulatory behavior atau stimulasi perilaku diri. Bentuknya beragam, seperti menggoyangkan tangan atau kaki, melingkari tubuh ke depan dan belakang, mengulang kata atau suara tertentu, memperlihatkan cahaya atau benda berputar dan memainkan rambut atau menggigit kuku.

Penelitian menunjukkan bahwa stimulasi bukan sekedar kebiasaan tanpa arti, tetapi merupakan cara individu dengan autisme untuk mengelola emosi, mengurangi stres, atau menenangkan diri saat mengalami kelebihan rangsangan sensorik.

Mengapa Stimming pada Autisme Penting?

Sebagian besar penelitian memandang stimulasi sebagai perilaku negatif yang perlu dikurangi. Namun, studi terbaru menyoroti manfaat stimming dalam membantu individu penderita autisme mengatur dirinya sendiri. Beberapa manfaat stimming antara lain:

  • Mengurangi kecemasan, Stimming dapat membantu anak mengatasi lingkungan yang penuh dengan suara atau cahaya yang berlebihan.
  • Meningkatkan konsentrasi, Beberapa orang autis menggunakan stimming untuk fokus saat merasa terganggu oleh stimulus eksternal.
  • Menyalurkan emosi, Stimming juga bisa menjadi ekspresi kebahagiaan atau kegembiraan, bukan hanya respon terhadap stres.

Haruskah Stimming Dihentikan?

Banyak orang tua dan guru khawatir bahwa stimulasi dapat menghambat anak dalam berinteraksi dengan orang lain atau beradaptasi di lingkungan sosial. Namun, penelitian menunjukkan bahwa menekan stimming justru dapat berdampak negatif , seperti meningkatkan kecemasan dan stres pada individu autis.

Alih-alih melarang stimming, ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua:

  • Pahami pemicunya,  Jika stimming terjadi karena kelebihan rangsangan sensorik, cobalah faktor yang mengurangi pemicu seperti suara bising atau cahaya terang.
  • Cari alternatif yang aman, Jika stimming berisiko membahayakan, seperti menggigit tangan atau menjambak rambut, bantu anak menemukan bentuk stimming lain yang lebih aman, seperti meremas bola stres atau memainkan fidget spinner.
  • Berikan lingkungan yang mendukung, Biarkan anak merasa aman untuk mengekspresikan diri tanpa rasa takut dihakimi.

Stimming adalah bagian alami dari kehidupan banyak individu autis dan memiliki manfaat dalam membantu mereka mengatur emosi dan sensorik. Sebagai orang tua, penting untuk memahami bahwa stimulasi bukanlah perilaku buruk, tetapi cara anak merasa nyaman di lingkungannya. Dengan menerima dan mendukung kebutuhan mereka, kami dapat membantu anak autis berkembang dengan bahagia dan percaya diri.

Referensi

Charlton, R. A., Entecott, T., Belova, E., & Nwaordu, G. (2021). “It feels like holding back something you need to say”: Autistic and non-autistic adults’ accounts of sensory experiences and stimming. Research in Autism Spectrum Disorders, 89, 101864.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Meltdown pada Anak dengan Autisme

Jika Anda memiliki anak dengan autisme, mungkin Anda pernah mengalami situasi di mana anak tiba-tiba menangis, berteriak, atau bahkan menyakiti diri sendiri tanpa alasan yang jelas. Ini bukan sekadar tantrum biasa, tetapi disebut meltdown. Berbeda dengan tantrum yang biasanya terjadi karena anak ingin sesuatu, meltdown terjadi saat anak merasa kewalahan dengan lingkungan atau emosinya sendiri. Sebagai orang tua, menghadapi meltdown pada anak dengan autisme bisa menjadi tantangan besar. Namun, dengan memahami penyebab dan cara mengatasinya, Anda bisa membantu anak mengelola emosinya dengan lebih baik.

Apa Penyebab Meltdown?

Berdasarkan penelitian, ada beberapa hal yang bisa memicu meltdown pada anak dengan autisme:

  1. Stimulasi berlebih, Anak merasa terlalu banyak menerima rangsangan, misalnya suara yang terlalu keras, lampu yang terlalu terang, atau keramaian.
  2. Perubahan rutinitas, Anak dengan autisme sangat bergantung pada rutinitas. Perubahan kecil seperti rute perjalanan yang berbeda atau jadwal yang berubah bisa membuat mereka merasa tidak nyaman.
  3. Kesulitan berkomunikasi, Jika anak kesulitan mengungkapkan keinginannya, mereka bisa menjadi frustrasi dan akhirnya mengalami meltdown.
  4. Kelelahan atau lapar, Anak yang lelah atau lapar lebih rentan mengalami meltdown karena mereka kesulitan mengontrol emosinya.

Tantangan yang Dihadapi Orang Tua

Saat anak mengalami meltdown, orang tua sering menghadapi tantangan dalam tiga aspek utama:

  1. Tantangan fisik, Beberapa anak bisa bersikap agresif, seperti membanting benda atau melukai diri sendiri. Orang tua perlu sigap untuk memastikan keselamatan anak dan orang di sekitarnya.
  2. Tantangan mental, Merasa tidak tahu harus berbuat apa atau merasa gagal sebagai orang tua adalah hal yang umum dirasakan.
  3. Tantangan emosional, Stigma dari masyarakat sering kali membuat orang tua merasa malu atau tertekan ketika anak mengalami meltdown di tempat umum.

Bagaimana Cara Mengatasi Meltdown pada anak autisme?

Ada beberapa cara yang bisa Anda lakukan untuk membantu anak melewati meltdown dengan lebih tenang:

  1. Kenali Tanda-Tanda Awal, Biasanya sebelum meltdown, anak menunjukkan tanda-tanda seperti gelisah, menutup telinga, atau menghindari kontak mata. Jika Anda mulai melihat tanda ini, coba alihkan perhatian anak ke sesuatu yang menenangkannya, seperti mainan favorit atau mendengarkan musik yang disukai.
  2. Beri Tempat yang Aman, Jika memungkinkan, bawa anak ke tempat yang lebih tenang agar ia tidak semakin panik. Ruangan yang redup dan sepi bisa membantu anak lebih cepat tenang.
  3. Tetap Tenang, Anak bisa merasakan emosi orang tuanya. Jika Anda panik, anak mungkin akan semakin stres. Tarik napas dalam, tetap tenang, dan berikan pelukan lembut jika anak menyukainya.
  4. Jangan Memaksa Anak Berkomunikasi, Saat meltdown, anak mungkin tidak bisa berbicara atau menjelaskan apa yang terjadi. Alih-alih memaksa mereka bicara, coba berikan kata-kata yang menenangkan.
  5. Gunakan Strategi Preventif
  • Rutinitas yang Konsisten – Usahakan menjaga jadwal anak agar mereka merasa lebih aman dan nyaman.
  • Latih Kemampuan Komunikasi – Gunakan kartu gambar atau bahasa isyarat sederhana agar anak lebih mudah menyampaikan kebutuhannya.
  • Berikan Istirahat yang Cukup – Anak yang cukup tidur dan makan teratur lebih jarang mengalami meltdown.

Referensi

Yalim, T., & Mohamed, S. (2023). Meltdown in Autism: Challenges and Support Needed for Parents of Children with Autism. International Journal of Academic Research in Progressive Education and Development, 12(1), 850–876.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Pentingnya Memahami Ekspresi Wajah Anak Autism

Ekspresi wajah merupakan salah satu bentuk komunikasi nonverbal yang digunakan manusia untuk menyampaikan emosi dan perasaan. Namun, bagi anak ASD, ekspresi wajah bisa menjadi sesuatu yang sulit dipahami, baik dalam menampilkan emosi mereka sendiri maupun dalam menginterpretasi ekspresi orang lain. Oleh karena itu, memahami ekspresi wajah anak dengan autism menjadi hal yang penting bagi orang tua, pendidik, dan lingkungan sekitarnya.

Mengapa Anak dengan Autism Kesulitan dalam Ekspresi Wajah?

Anak dengan autism sering mengalami kesulitan dalam menghubungkan ekspresi wajah dengan emosi tertentu. Beberapa alasan utama di balik tantangan ini meliputi:

Kesulitan dalam Mengenali Ekspresi Orang Lain

Anak dengan autism mungkin tidak secara otomatis mengenali perbedaan antara ekspresi wajah bahagia, sedih, marah, atau takut. Mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami makna dari ekspresi tersebut.

Ekspresi yang Kurang Terlihat Jelas

Beberapa anak dengan autism menunjukkan ekspresi wajah yang datar atau minim, meskipun mereka sebenarnya merasakan emosi tertentu. Hal ini dapat membuat orang tua atau pengasuh sulit memahami perasaan mereka.

Tantangan dalam Interaksi Sosial

Kesulitan dalam membaca ekspresi wajah sering kali membuat anak dengan autism mengalami kendala dalam interaksi sosial. Mereka mungkin tidak menyadari kapan seseorang sedang marah atau sedih, sehingga respons yang diberikan tidak sesuai dengan situasi.

Mengapa Penting Memahami Ekspresi Wajah Anak dengan Autism?

Meningkatkan Komunikasi

Dengan memahami ekspresi wajah anak, orang tua dan pendidik dapat lebih mudah menangkap perasaan mereka meskipun anak tidak mengungkapkannya secara verbal. Ini akan membantu dalam memberikan respons yang lebih tepat terhadap kebutuhan mereka.

Membantu Anak Menyampaikan Emosi

Beberapa anak dengan autism mungkin kesulitan mengungkapkan perasaan dengan kata-kata. Dengan memperhatikan ekspresi wajah mereka, orang tua dan guru dapat membantu mereka mengembangkan cara lain untuk menyampaikan perasaan mereka, seperti melalui gambar atau bahasa tubuh.

Mendukung Perkembangan Sosial

Memahami ekspresi anak dengan autism membantu lingkungan sekitar dalam membangun hubungan yang lebih baik dengan mereka. Ini juga dapat membantu anak dalam memahami bagaimana berinteraksi dengan orang lain secara lebih efektif.

Cara Membantu Anak dengan Autism 

Gunakan Gambar atau Kartu Emosi

Menggunakan kartu yang menunjukkan berbagai ekspresi wajah dapat membantu anak menghubungkan ekspresi dengan emosi tertentu.

Latihan dengan Cermin

Mengajak anak melihat ekspresi wajah mereka sendiri di cermin sambil mengenali emosi yang sedang dirasakan bisa menjadi cara efektif untuk meningkatkan kesadaran diri mereka.

Gunakan Teknologi dan Aplikasi Interaktif

Saat ini, banyak aplikasi yang dirancang untuk membantu anak dengan autism mengenali ekspresi dan memahami emosi melalui gambar atau video interaktif.

Berikan Dukungan dalam Interaksi Sehari-hari

Orang tua dan pendidik dapat membantu dengan menunjukkan ekspresi wajah mereka secara lebih jelas dan memberikan penjelasan singkat mengenai perasaan yang sedang dirasakan.

Memahami wajah anak dengan autism adalah langkah penting dalam mendukung perkembangan komunikasi dan interaksi sosial mereka. Dengan memberikan perhatian lebih terhadap cara anak mengekspresikan emosi, serta membantu mereka mengenali ekspresi wajah orang lain, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif bagi mereka. Dukungan yang konsisten dan metode yang tepat akan sangat membantu anak dengan autism dalam mengembangkan keterampilan sosial yang lebih baik di masa depan.

Categories
Artikel ASD

Terapi Okupasi dalam Membantu Anak dengan Autism

Sebagai orang tua dari anak penderita Autism Spectrum Disorder (ASD), salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana membantu anak dalam berkomunikasi. Beberapa anak mungkin kesulitan memahami bahasa, sulit mengungkapkan perasaan, atau bahkan menggunakan cara yang tidak biasa untuk berkomunikasi, seperti menarik tangan orang lain atau menangis ketika menginginkan sesuatu. Didalamnya terapi okupasi berperan. Selain membantu anak lebih mandiri dalam kehidupan sehari-hari, terapi ini juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi mereka.

Apa Itu Terapi Pekerjaan?

Terapi okupasi adalah jenis terapi yang membantu anak mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Terapis okupasi bekerja dengan anak untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam berbagai aspek, seperti, mempelajari keterampilan motorik halus dan kasar, melatih keterampilan sosial dan interaksi, meningkatkan kemampuan sensorik dan regulasi emosi, dan mendorong kemandirian dalam aktivitas sehari-hari seperti makan dan berpakaian Namun, yang sering kali tidak disadari, terapi okupasi juga berperan dalam membantu anak dengan ASD belajar berkomunikasi.

Bagaimana Terapi Okupasi Membantu Komunikasi Anak dengan ASD?

  • Membantu Anak Lebih Fokus dan Tenang

Sebagian besar anak penderita ASD memiliki sensitivitas sensorik yang tinggi. Mereka mungkin merasa terganggu oleh suara keras, tekstur tertentu, atau cahaya terang, sehingga sulit untuk fokus saat berkomunikasi. Terapis okupasi menggunakan berbagai teknik, seperti terapi sensorik dan latihan pernapasan, agar anak lebih tenang dan siap berinteraksi.

  • Melatih Keterampilan Dasar Komunikasi

Sebelum bisa berbicara atau menggunakan bahasa isyarat, anak perlu mengembangkan keterampilan komunikasi dasar seperti, menghubungi mata saat berbicara, menunjuk atau memperhatikan objek yang sedang dibicarakan, memahami ekspresi wajah orang lain dan menggunakan gerakan tangan sederhana untuk menunjukkan keinginan. Terapis okupasi menggunakan permainan atau aktivitas tertentu untuk membantu anak melatih keterampilan ini secara alami.

  • Mengajarkan Cara Berkomunikasi yang Lebih Baik

Anak dengan ASD sering kali menggunakan cara yang tidak biasa untuk berkomunikasi, seperti menggigit tangan sendiri, berteriak, atau memukul saat merasa frustasi. Terapis okupasi membantu anak menemukan cara yang lebih baik, seperti, menggunakan gambar atau kartu komunikasi ( PECS – Picture Exchange Communication System ), menggunakan bahasa tubuh atau gerakan tangan dan melatih anak berbicara secara bertahap, mulai dari kata-kata sederhana

  • Membantu Anak Menggunakan Bahasa dalam Kehidupan Sehari-hari

Anak dengan ASD sering mengalami kesulitan dalam menerapkan keterampilan yang telah mereka pelajari ke situasi baru. Misalnya, mereka mungkin bisa mengatakan “tolong” saat latihan dengan terapi, tapi lupa menggunakannya saat meminta bantuan di rumah. Terapis okupasi memastikan anak dapat menerapkan keterampilan komunikasi ini dalam berbagai situasi, baik di rumah, sekolah, maupun saat bermain dengan teman.

  • Bekerja Sama dengan Terapi Wicara

Jika anak sudah menjalani terapi wicara, terapi okupasi bisa melengkapinya. Terapis okupasi akan membantu aspek fisik dan sensorik dari komunikasi, seperti, melatih otot wajah dan mulut agar lebih mudah berbicara, membantu anak mengatasi sensitivitas terhadap sentuhan (misalnya, jika anak tidak nyaman saat bibir atau lidah disentuh) dan menggunakan aktivitas berbasis gerakan untuk meningkatkan perhatian dan interaksi anak. Dengan kolaborasi ini, anak dapat belajar berkomunikasi dengan lebih efektif.

Terapi okupasi tidak hanya membantu anak menjadi lebih mandiri, tetapi juga berperan penting dalam meningkatkan keterampilan komunikasi mereka. Dengan pendekatan yang menyenangkan dan berbasis aktivitas sehari-hari, terapi ini membantu anak lebih fokus, memahami cara berkomunikasi, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Referensi

Hébert, MLJ, Kehayia, E., Prelock, P., Wood-Dauphinee, S., & Snider, L. (2014). Apakah terapi okupasi berperan dalam komunikasi pada anak-anak dengan gangguan spektrum autisme? Jurnal Internasional Patologi Bicara-Bahasa, 16 (6), 594–602.

Categories
Artikel ASD

Diet GFCF untuk Anak Autisme

Bagi orang tua yang memiliki anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD), menemukan cara terbaik untuk mendukung perkembangan mereka adalah hal yang penting. Selain terapi dan intervensi berbasis perilaku, banyak keluarga mencoba pendekatan melalui pola makan, salah satunya dengan diet bebas gluten dan kasein (Gluten-Free Casein-Free/GFCF).

Apa Itu Diet Bebas Gluten dan Kasein (GFCF)?

Diet GFCF adalah pola makan yang menghindari gluten (protein dalam gandum, barley, dan rye) serta kasein (protein dalam susu dan produk olahannya seperti keju dan yogurt). Diet ini didasarkan pada teori bahwa anak dengan autisme memiliki kesulitan mencerna dua protein ini, yang kemudian bisa memengaruhi fungsi otak dan perilaku mereka.

Beberapa studi menunjukkan bahwa diet ini dapat membantu anak dengan ASD yang memiliki gangguan pencernaan atau “leaky gut” (usus bocor), di mana zat-zat dari makanan bisa masuk ke aliran darah dan memicu reaksi yang berhubungan dengan gejala autisme.

Manfaat Diet GFCF untuk Anak dengan Autisme

  • Perbaikan Perilaku dan Interaksi Sosial

Anak yang menjalani diet ini sering menunjukkan peningkatan dalam hal komunikasi, fokus, dan interaksi sosial. Mereka menjadi lebih responsif terhadap lingkungan sekitar dan lebih mudah mengikuti instruksi.

  • Tidur Lebih Nyenyak

Gangguan tidur adalah masalah umum pada anak dengan autisme. Beberapa studi menyatakan bahwa anak-anak yang menjalani diet GFCF mengalami perbaikan pola tidur, seperti lebih mudah tidur dan tidak sering terbangun di malam hari.

  • Mengurangi Masalah Pencernaan

Banyak anak dengan ASD mengalami masalah pencernaan seperti sembelit, diare, atau kembung. Diet GFCF terbukti membantu mengurangi gejala ini, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kenyamanan mereka sehari-hari. Gluten dan kasein diduga dapat meningkatkan peradangan dalam usus pada beberapa anak dengan autisme. Dengan menghilangkan kedua protein ini, sistem pencernaan mereka bekerja lebih baik, sehingga mengurangi rasa sakit atau ketidaknyamanan yang dapat memicu perilaku tantrum.

Tantangan yang Perlu Diperhatikan

Meski memiliki banyak manfaat, diet GFCF juga memiliki tantangan yang perlu dipertimbangkan sebelum menerapkannya pada anak dengan autism.

  • Risiko Kekurangan Nutrisi

Menghilangkan susu dan gandum dari makanan anak dapat menyebabkan kekurangan kalsium, vitamin D, dan serat. Oleh karena itu, penting untuk menggantinya dengan sumber nutrisi lain.

  • Tidak Semua Anak Merasakan Manfaat yang Sama

Setiap anak dengan autisme memiliki kondisi yang berbeda. Beberapa anak mungkin mengalami peningkatan yang signifikan, sementara yang lain tidak menunjukkan perubahan besar.

  • Bisa Membatasi Pilihan Makanan Anak

Banyak anak dengan autisme memiliki pola makan yang selektif (picky eater), sehingga diet ini bisa semakin mempersempit pilihan makanan mereka.

Referensi

Zafirovski, K., Aleksoska, M. T., Thomas, J., & Hanna, F. (2024). Impact of gluten-free and casein-free diet on behavioural outcomes and quality of life of autistic children and adolescents: A scoping review. Children, 11(7), 862.

Categories
Artikel ASD

Pentingnya Nutrisi yang Tepat Anak dengan ASD

Nutrisi yang baik memiliki peran penting dalam mendukung tumbuh kembang anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD). Anak dengan ASD sering kali memiliki pola makan yang berfungsi, yang dapat menyebabkan kekurangan nutrisi tertentu.Oleh karena itu, pemahaman mengenai kebutuhan nutrisi mereka sangat penting bagi orang tua agar dapat memberikan makanan yang seimbang dan mendukung kesehatan anak.

Tantangan Pola Makan pada Anak dengan ASD

Anak dengan ASD cenderung memiliki kebiasaan makan yang terbatas. Mereka mungkin hanya mau mengonsumsi jenis makanan tertentu atau menghindari makanan dengan tekstur, rasa, atau aroma tertentu. Beberapa anak juga memiliki rutinitas makan yang spesifik, seperti hanya makan dari piring tertentu atau menolak makanan yang bercampur.

Pola makan yang terbatas ini dapat menyebabkan kekurangan nutrisi penting seperti kalsium, vitamin D, vitamin B12, zat besi, dan magnesium.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak dengan ASD yang menjalani diet bebas kasein atau gluten berisiko mengalami kekurangan kalsium dan vitamin D, yang dapat berdampak pada kesehatan tulang mereka.

Dampak Kekurangan Nutrisi

Kurangnya asupan nutrisi tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan fisik, tetapi juga dapat berdampak pada perilaku dan perkembangan anak.Kekurangan vitamin dan mineral tertentu dapat mempengaruhi sistem saraf dan menyebabkan gangguan tidur. Selain itu, hal ini juga dapat memperburuk gejala ASD, seperti kesulitan berkonsentrasi atau meningkatnya kecemasan.

Selain itu, anak dengan ASD sering mengalami masalah pencernaan seperti sembelit atau refluks asam lambung, yang semakin menambah nafsu makan mereka.Beberapa obat yang dikonsumsi anak penderita ASD juga dapat menyebabkan efek samping yang mempengaruhi pola makan.

Strategi Mendukung Pola Makan Sehat

Untuk membantu anak penderita ASD mendapatkan nutrisi yang cukup, orang tua dapat mencoba beberapa strategi berikut:

Perkenalkan makanan baru secara bertahap, Mulailah dengan porsi kecil dan sajikan makanan dengan tampilan yang menarik.

Gunakan variasi tekstur dan rasa, Sesuaikan dengan sensitivitas anak terhadap makanan tertentu.

Libatkan anak dalam proses memasak, Ini dapat meningkatkan minat mereka untuk mencoba makanan baru.

Konsultasikan dengan ahli gizi atau dokter jika anak mengalami kesulitan makan yang signifikan. Profesional dapat membantu menemukan solusi terbaik untuk mengatasi masalah tersebut.

Dengan pendekatan yang tepat, orang tua dapat membantu anak ASD mendapatkan nutrisi yang cukup, sehingga mereka dapat tumbuh dengan sehat dan optimal.

Referensi

Asia Pacific Insights. (2024, November 20). Understanding children with ASD: Food and nutrition matters. Sage Publications.

Categories
Artikel ASD

Pentingnya Terapi Wicara untuk Anak dengan Autisme

Anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) sering mengalami tantangan dalam berkomunikasi. Beberapa anak mungkin kesulitan mengucapkan kata dengan jelas, sementara yang lain bisa berbicara tetapi sulit memahami percakapan atau mengekspresikan pikirannya. Hal ini terjadi karena adanya gangguan dalam pemrosesan bahasa di otak mereka. Masalah komunikasi ini bisa berdampak pada banyak aspek kehidupan anak, mulai dari kesulitan bersosialisasi, mengekspresikan keinginan, hingga menghadapi tantangan dalam belajar di sekolah. Oleh karena itu, terapi wicara menjadi salah satu cara yang efektif untuk membantu anak autisme mengembangkan kemampuan berbahasa dan berbicara.

Apa Itu Terapi Wicara?

Terapi wicara adalah latihan yang dilakukan oleh terapis profesional untuk membantu anak berbicara lebih jelas, memahami bahasa, dan merespons komunikasi dengan lebih baik. Terapi ini mencakup berbagai metode, yaitu :

  • Latihan mengucapkan kata dengan benar, Anak belajar cara menggerakkan mulut dan lidah untuk menghasilkan suara yang tepat.
  • Melatih pemahaman bahasa, Anak diajarkan untuk memahami kata-kata, instruksi, dan percakapan dengan lebih baik.
  • Meningkatkan komunikasi nonverbal, Untuk anak yang belum bisa berbicara dengan lancar, terapi juga mengajarkan cara berkomunikasi melalui gestur, gambar, atau ekspresi wajah.

Manfaat Terapi Wicara untuk Anak Autisme

Terapi wicara bukan hanya membantu anak berbicara lebih jelas, tetapi juga membawa banyak manfaat lainnya, yaitu :

  • Membantu Anak Mengucapkan Kata dengan Jelas

Banyak anak autisme mengalami kesalahan dalam berbicara, seperti menghilangkan huruf dalam kata (misalnya, “makan” menjadi “ma’an”), mengganti bunyi huruf (misalnya, “susu” menjadi “tutu”), atau berbicara dengan nada yang tidak beraturan. Terapi wicara membantu mereka memperbaiki cara berbicara sehingga lebih mudah dipahami oleh orang lain.

  • Meningkatkan Kemampuan Berkomunikasi Sehari-hari

Dengan terapi yang rutin, anak bisa lebih mudah menyampaikan keinginannya, seperti meminta makan, pergi ke toilet, atau menyatakan perasaan mereka. Ini sangat membantu dalam kehidupan sehari-hari dan mengurangi frustrasi karena kesulitan berkomunikasi.

  • Meningkatkan Interaksi Sosial

Kemampuan berbicara yang lebih baik akan membantu anak berinteraksi dengan teman sebaya, keluarga, dan guru. Mereka lebih mudah memahami aturan percakapan, seperti bergantian berbicara dan mendengarkan lawan bicara.

  • Mendukung Proses Belajar

Anak yang lebih baik dalam memahami bahasa akan lebih mudah mengikuti instruksi di sekolah, mengerjakan tugas, dan berpartisipasi dalam kegiatan belajar. Ini menjadi bekal penting bagi mereka untuk berkembang di lingkungan pendidikan.

Dukungan Orang Tua dalam Terapi

Peran orang tua sangat penting dalam mendukung keberhasilan terapi wicara. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan di rumah, yaitu :

  • Membaca buku bersama, Bacakan cerita sederhana dan ajak anak untuk menunjuk gambar atau mengulang kata-kata.
  • Menggunakan lagu dan nyanyian, Lagu-lagu anak-anak bisa membantu anak mengenali kata dan melatih pelafalan.
  • Bermain sambil berbicara, Gunakan mainan untuk mengajarkan nama benda atau meminta anak mengikuti instruksi sederhana.

Terapi wicara adalah langkah penting untuk membantu anak autisme berkomunikasi lebih baik. Dengan latihan yang tepat dan dukungan dari orang tua, anak dapat belajar berbicara lebih jelas, memahami bahasa, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar dengan lebih mudah.

Jika anak Anda mengalami kesulitan berbicara, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan terapis wicara. Dengan penanganan yang tepat, anak bisa berkembang lebih optimal dan lebih percaya diri dalam berkomunikasi.

 

Categories
Artikel ASD

Pentingnya Terapi Integrasi Sensori untuk Anak dengan Autisme

Anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) sering kali mengalami kesulitan dalam memproses rangsangan dari lingkungan sekitar. Mereka bisa menjadi sangat sensitif terhadap suara, cahaya, atau sentuhan, atau justru kurang responsif terhadap rangsangan tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan mereka dalam berkomunikasi, bersosialisasi, dan melakukan aktivitas sehari-hari. Salah satu pendekatan yang terbukti efektif dalam membantu anak dengan ASD mengatasi tantangan ini adalah Terapi Integrasi Sensori (Sensory Integration Occupational Therapy/SI-OT).

Apa Itu Terapi Integrasi Sensori?

Terapi integrasi sensori adalah metode yang dirancang untuk membantu anak ASD agar lebih mampu mengolah dan merespons berbagai rangsangan sensorik. Terapi ini dilakukan melalui berbagai aktivitas yang bertujuan untuk menstimulasi sistem sensorik anak, seperti, Permainan dengan ayunan atau trampolin untuk melatih keseimbangan dan koordinasi, Eksplorasi tekstur berbeda melalui pasir, tanah liat, atau udara untuk meningkatkan respon terhadap sentuhan dan Kegiatan seperti berlari atau melompat untuk membantu regulasi sensorik dan meningkatkan kesadaran tubuh.

Mengapa Terapi Ini Penting untuk Anak Autisme?

Gangguan pengiriman sensorik pada anak ASD dapat menyebabkan berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa terapi yang tepat, anak mungkin mengalami kesulitan dalam belajar, bersosialisasi, bahkan dalam aktivitas sederhana seperti berpakaian atau makan.

Beberapa manfaat utama terapi integrasi sensori antara lain:

  • Membantu Anak Lebih Tenang dan Fokus

Anak ASD yang terlalu sensitif terhadap suara atau sentuhan sering kali merasa transmisi dan mudah tantrum. Dengan terapi sensori, mereka bisa belajar mengatur reaksi terhadap rangsangan, sehingga lebih tenang dan mudah berkonsentrasi.

  • Meningkatkan Keterampilan Sosial

Banyak anak autis yang mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain karena mereka tidak nyaman dengan sentuhan atau suara di sekitarnya. Terapi ini membantu mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, sehingga lebih mudah berinteraksi dan bermain dengan teman sebaya.

  • Meningkatkan Kemandirian dalam Aktivitas Sehari-hari

Anak dengan gangguan sensorik sering kali mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti memakai pakaian dengan tekstur tertentu atau menyikat gigi. Dengan terapi ini, mereka bisa belajar beradaptasi dan lebih mandiri dalam menjalani rutinitasnya.

Terapi integrasi sensori bukan hanya sekedar sesi bermain, tetapi merupakan pendekatan ilmiah yang membantu anak dengan ASD untuk memahami dan merespons dunia di sekitar mereka dengan lebih baik. Dengan stimulasi yang tepat, anak dapat berkembang lebih optimal, lebih nyaman dalam lingkungan sosial, dan lebih mandiri dalam aktivitas sehari-hari.

Jika Anda merasa anak mengalami kesulitan dalam merespons lingkungan atau menunjukkan tanda-tanda gangguan pemrosesan sensorik, segera konsultasikan dengan ahli untuk mengetahui apakah terapi ini cocok untuknya.

Referensi

Raditha, C., Handryastuti, S., Pusponegoro, HD, & Mangunatmadja, I. (2023). Pengaruh perilaku positif intervensi integrasi sensori pada anak usia dini dengan gangguan spektrum autisme . Pediatric Research, 93(7), 1667–1671.

Categories
Artikel ASD

Autisme pada Anak Perempuan Sering Terlambat Diketahui

Sebagai orang tua, tentu kita ingin memahami dan mendukung perkembangan anak sebaik mungkin. Namun, tahukah Anda bahwa autisme pada anak perempuan sering kali tidak terdeteksi sejak dini? Hal ini bukan karena gejalanya tidak ada, tetapi karena cara anak perempuan menunjukkan autisme sering berbeda dari anak laki-laki.

Autisme pada Anak Perempuan Bisa Tampak Berbeda

Ketika mendengar kata autisme, kebanyakan orang membayangkan anak yang kesulitan berkomunikasi, menghindari kontak mata, atau terlalu fokus pada satu hal tertentu. Namun, tanda-tanda ini lebih sering terlihat pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

Anak perempuan dengan autisme cenderung lebih pandai meniru perilaku teman-temannya, sehingga terlihat seperti anak biasa. Mereka mungkin bisa berbicara dengan baik, bermain dengan teman, dan mengikuti aturan di sekolah. Namun, di dalam hati, mereka sering merasa lelah karena harus berusaha keras menyesuaikan diri agar tampak seperti anak lainnya.

Mengapa Autisme pada Anak Perempuan Sering Terlambat Diketahui?

  1. Lebih Pandai Menyesuaikan Diri
    Anak perempuan biasanya lebih banyak mengamati orang lain dan mencoba meniru cara berbicara atau berperilaku. Hal ini membuat kesulitan mereka dalam bersosialisasi tidak terlihat jelas.
  2. Tidak Terlalu Aktif atau Mengganggu
    Anak laki-laki dengan autisme sering menunjukkan perilaku yang lebih mencolok, seperti hiperaktif atau sulit diatur. Sementara itu, anak perempuan dengan autisme cenderung pendiam dan mengikuti aturan, sehingga guru atau orang tua tidak melihat ada masalah.
  3. Sering Salah Didiagnosis
    Karena tidak menunjukkan tanda-tanda autisme yang jelas, anak perempuan sering didiagnosis dengan kondisi lain, seperti pemalu berlebihan, cemas, atau bahkan gangguan kepribadian.

Dampak Jika Autisme Terlambat Diketahui

Jika autisme pada anak perempuan tidak dikenali sejak dini, mereka bisa mengalami berbagai kesulitan, seperti:

Kesulitan memahami hubungan sosial, yang membuat mereka merasa kesepian atau sering salah paham dalam pergaulan.

Mudah merasa cemas dan stres, karena terus-menerus berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Rentan menjadi korban perundungan (bullying) karena sering tidak memahami maksud tersembunyi dari orang lain.

Bagaimana Orang Tua Bisa Membantu?

Jika Anda merasa anak Anda menunjukkan tanda-tanda kesulitan dalam bersosialisasi atau sering merasa kelelahan setelah berinteraksi dengan teman-temannya, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog atau dokter spesialis anak.

Beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mendukung anak perempuan dengan autisme, antara lain:

Mengamati kebiasaan anak, Perhatikan apakah anak terlihat kesulitan dalam pergaulan atau lebih suka bermain sendiri.

Memberikan lingkungan yang nyaman, Jangan memaksa anak untuk menjadi seperti teman-temannya, tetapi bantu mereka menemukan cara berkomunikasi yang nyaman.

Membantu anak mengenali emosinya, Anak perempuan dengan autisme sering mengalami kecemasan, jadi ajarkan mereka cara mengungkapkan perasaan dengan tenang.

Mencari komunitas pendukung, Bertemu dengan orang tua lain yang memiliki anak dengan kondisi serupa bisa membantu Anda mendapatkan informasi dan dukungan yang dibutuhkan.

Autisme pada anak perempuan sering kali tidak dikenali karena mereka lebih pandai menyesuaikan diri. Namun, jika tidak terdeteksi sejak dini, mereka bisa menghadapi berbagai kesulitan di kemudian hari. Sebagai orang tua, penting bagi kita untuk memahami perbedaan ini dan memberikan dukungan terbaik agar anak bisa tumbuh dengan bahagia dan percaya diri.

Referensi

Bargiela, S., Steward, R., & Mandy, W. (2016). The experiences of late-diagnosed women with autism spectrum conditions: An investigation of the female autism phenotype. Journal of Autism and Developmental Disorders, 46(10), 3281–3294.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Autisme dalam Sejarah

Autisme adalah kondisi perkembangan saraf yang mempengaruhi cara seseorang berinteraksi sosial, berkomunikasi, dan berperilaku. Seiring berjalannya waktu, pemahaman tentang autisme terus berkembang. Memang, kondisi ini sering disalahpahami, tetapi kini semakin banyak penelitian yang mengungkap penyebab dan cara mendukung individu autis. Artikel ini akan membahas sejarah autisme pertama kali dikenal hingga pemahaman modern yang kita miliki saat ini.

Autisme di Masa Lalu

Sebelum dunia medis mengenali autisme, individu dengan perilaku berbeda sering disalahartikan. Pada abad ke-18 dan 19, anak-anak yang mengalami kesulitan berbicara atau berinteraksi sosial dianggap memiliki gangguan mental atau bahkan dikaitkan dengan hal mistis.

Salah satu kasus terkenal adalah Victor dari Aveyron, seorang anak pembohong yang ditemukan di hutan Prancis pada awal tahun 1800-an. Ia karakteristiknya menunjukkan autisme seperti kesulitan dalam komunikasi dan kecepatan pada rutinitas tertentu. Jean-Marc Gaspard Itard, seorang dokter Prancis, mencoba mendidiknya, yang kemudian menjadi salah satu studi awal tentang gangguan perkembangan.

Autisme Mulai Dikenali Secara Medis

Istilah “autisme” pertama kali diperkenalkan oleh Eugen Bleuler, seorang psikiater Swiss, pada tahun 1911. Namun, saat itu ia menggunakannya untuk menggambarkan gejala dalam skizofrenia. Pemahaman tentang autisme sebagai kondisi yang berbeda baru muncul di pertengahan abad ke-20.

  • Tahun 1943

Leo Kanner, seorang psikiater Amerika, meneliti 11 anak dengan kesulitan sosial dan perilaku berulang. Ia menyebut kondisi ini sebagai “gangguan autistik kontak afektif”, yang menjadi dasar pemahaman tentang Autism Spectrum Disorder (ASD).

  • Tahun 1944

Hans Asperger, seorang dokter Austria, mengamati anak-anak dengan karakteristik serupa tetapi memiliki kemampuan bahasa yang baik. Hal ini kemudian dikenal sebagai Sindrom Asperger.

Autisme di Era Modern

Pada tahun 1980-an, autisme secara resmi diakui sebagai gangguan perkembangan dalam DSM-III (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders). Seiring berjalannya waktu, penelitian menunjukkan bahwa autisme memiliki spektrum yang luas, sehingga pada tahun 2013, DSM-5 mengklasifikasikan ulang berbagai kategori autisme ke dalam satu istilah: Autism Spectrum Disorder (ASD).

Kini, autisme dipahami bukan sebagai penyakit yang harus dibudidayakan, melainkan bagian dari keberagaman cara kerja otak manusia ( neurodiversity ). Banyak individu autis yang memiliki keunggulan unik di berbagai bidang seperti seni, teknologi, atau sains. Kesadaran ini membantu mengurangi stigma dan meningkatkan penerimaan terhadap individu autis.

Dari kondisi yang dulu sering disalahpahami hingga kini diakui sebagai bagian dari keberagaman manusia, pemahaman tentang autisme telah berkembang pesat. Orang tua yang memiliki anak autis kini dapat mengakses lebih banyak sumber daya dan dukungan untuk membantu mereka berkembang sesuai potensinya.

Memahami perjalanan sejarah autisme ini dapat membantu kita lebih menerima dan mendukung anak-anak kita dengan lebih baik. Dengan dukungan yang tepat, anak autis dapat tumbuh dan memiliki masa depan yang cerah.

Buka WhatsApp
Butuh Bantuan?
Halo! Apa yang bisa saya bantu