Malang Autism Center

Categories
Artikel ASD Post Utama

Memahami Tiga Tingkat Keparahan ASD

Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan kondisi perkembangan saraf yang mempengaruhi interaksi sosial, komunikasi serta perilaku individu. Berdasarkan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke-5), ASD tidak lagi mempersempit diagnosis yang berbeda seperti Asperger’s Syndrome atau PDD-NOS, melainkan sebagai satu spektrum dengan tiga tingkat keparahan.

Berikut penjelasan tiga Tingkat keparahan pada Autism Spectrum Disorder (ASD):

Level 1 – Membutuhkan dukungan (Membutuhkan Dukungan)

Individu dengan ASD level 1 memiliki kesulitan dalam interaksi sosial tetapi masih bisa berkomunikasi secara verbal. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam memulai percakapan, mempertahankan interaksi sosial, atau memahami peraturan sosial. Selain itu, mereka juga memiliki pola perilaku repetitif dan minat yang terbatas, meskipun dalam tingkat ringan.

Pada level ini, diperlukan intervensi, yaitu :

  • Terapi perilaku kognitif (CBT) untuk membantu dalam mengelola kecemasan sosial dan fleksibel dalam berpikir.
  • Pelatihan keterampilan sosial, untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain.
  • Dukungan akademik atau pekerjaan, untuk membantu mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah atau tempat kerja.
  • Terapi okupasi, untuk membantu mengatasi pertahanan sensorik dan aktivitas sehari-hari.

Level 2 – membutuhkan dukungan substansial (Membutuhkan Dukungan Substansial)

Pada Tingkat ini, individu menunjukkan yang lebih signifikan dalam komunikasi sosial dan interaksi. Mereka mungkin hanya bisa melakukan percakapan terbatas atau memiliki ekspresi emosional yang kaku. Selain itu, mereka memiliki perilaku berulang yang lebih mencolok, seperti terus kuat pada rutinitas atau reaksi berlebihan terhadap perubahan lingkungan.

Pada level ini, diperlukan intervensi, yaitu :

  • Terapi wicara dan komunikasi, untuk membantu dalam penggunaan bahasa verbal maupun nonverbal.
  • Analisis perilaku terapan (ABA), untuk membantu mengurangi perilaku berulang yang menghambat serta meningkatkan keterampilan sosial.
  • Terapi okupasi dan sensorik, untuk menangani sensitivitas sensorik yang berlebihan, atau kurang responsif terhadap rangsangan lingkungan.
  • Pendekatan Pendidikan khusus, agar anak dapat belajar secara optimal.

Level 3 – membutuhkan dukungan yang sangat substansial (Membutuhkan Dukungan yang Sangat Substansial)

Individu dengan ASD Level 3 mengalami kesulitan komunikasi sosial yang sangat signifikan. Mereka mungkin memiliki keterbatasan berbicara atau bahkan nonverbal sama sekali. Pola perilaku berulang sangat mengganggu aktivitas sehari-hari, dan mereka sering kali mengalami kesulitan besar dalam beradaptasi dengan perubahan.

Pada level ini, diperlukan intervensi, yaitu :

  • Pendekatan komunikasi alternatif seperti PECS (Picture Exchange Communication System) atau perangkat AAC (Augmentative and Alternative Communication).
  • Terapi perilaku intensif, seperti ABA dalam durasi yang lebih lama, untuk membantu mengembangkan keterampilan dasar komunikasi dan sosial.
  • Terapi okupasi dan sensorik untuk mengatasi tantangan dalam respon sensorik, baik itu hipersensitivitas maupun hipersensitivitas.
  • Dukungan penuh bantuan dalam aktivitas sehari-hari, termasuk dalam keterampilan hidup mandiri seperti berpakaian, makan, dan kebersihan diri.

Setiap individu penderita ASD memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, tergantung pada tingkat keparahannya. Dengan intervensi yang tepat, mereka dapat mengembangkan keterampilan yang memungkinkan mereka beradaptasi dengan lingkungan sosial dan kehidupan sehari-hari. Dukungan dari keluarga, terapis, dan tenaga pendidik sangat penting untuk membantu individu penderita ASD mencapai potensi terbaik mereka.

Referensi

Posar, A., Resca, F., & Visconti, P. (2015). Autisme menurut manual diagnostik dan statistik gangguan mental edisi ke-5: Perlunya perbaikan lebih lanjut. Jurnal Neurosains Pediatrik, 10 (2), 146–148.

Categories
Artikel ASD

Masa Pubertas pada Remaja ASD

Masa pubertas pada remaja ASD sering kali terjadi lebih awal dibandingkan dengan remaja neurotipikal. Hal ini terutama terlihat pada remaja perempuan, yang mengalami percepatan perkembangan dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tidak memiliki ASD. Masa Pubertas pada Remaja ASD dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk perkembangan fisik, emosional, dan sosial.

Selain itu, beberapa perilaku khas ASD seperti gerakan repetitif dan perilaku stereotipik cenderung menurun selama masa pubertas. Namun, perubahan ini tidak terjadi secara merata, dan ada kemungkinan perilaku tersebut muncul kembali di kemudian hari, terutama pada remaja perempuan.

Tantangan Perilaku Selama Pubertas

Kemampuan Sosial yang Menurun

Banyak remaja penderita ASD mengalami peningkatan kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan sosial selama masa pubertas. Mereka menjadi lebih enggan untuk ikut serta dalam acara keluarga, sulit berkomunikasi, dan cenderung lebih nyaman menonton perpisahan daripada terlibat dalam interaksi langsung.

Perubahan Emosional dan Kemarahan

Masa pubertas juga dikaitkan dengan meningkatnya emosi yang sulit dikendalikan, seperti kemarahan dan kekecewaan. Beberapa remaja penderita ASD menunjukkan perilaku agresif yang meningkat, terutama mereka yang memiliki tingkat ASD sedang hingga berat.

Perilaku Seksual yang Tidak Tepat

Tantangan lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah munculnya perilaku seksual yang tidak sesuai konteks sosial. Beberapa remaja laki-laki penderita ASD mengalami kesulitan dalam mengontrol impuls seksual, seperti masturbasi di tempat umum, perhatian berlebihan terhadap konten seksual, serta kesulitan memahami batasan sosial dalam interaksi dengan orang lain.

Membantu dalam Keterampilan Hidup Sehari-hari

Remaja penderita ASD sering mengalami kesulitan dalam menjaga kebersihan diri, seperti mandi, mengukur, atau menangani mimpi basah. Pada remaja perempuan, menstruasi menjadi tantangan besar karena mereka sering kali kesulitan memahami dan mengelola perubahan yang terjadi pada tubuh mereka.

Masalah Makan dan Pola Makan Selektif

Beberapa remaja penderita ASD memiliki sensitivitas tinggi terhadap tekstur atau bau makanan tertentu, sehingga pola makan mereka sangat terbatas. Selain itu, beberapa individu dengan ASD mengalami masalah berat badan, baik kelebihan maupun kekurangan. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan makan yang tidak seimbang dan mengganggu aktivitas fisik.

Masa pubertas bagi remaja penderita ASD membawa berbagai perubahan dan tantangan yang unik. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik untuk memahami serta memberikan dukungan yang tepat guna membantu mereka melewati fase ini dengan lebih baik. Program edukasi dan pelatihan bagi orang tua serta anak-anak penderita ASD sangat diperlukan agar mereka dapat lebih siap menghadapi perubahan yang terjadi selama masa pubertas.

Dengan pendekatan yang tepat, remaja penderita ASD dapat memperoleh keterampilan yang lebih baik dalam mengelola emosi, berinteraksi sosial, serta menjaga kebersihan dan kesehatan pribadi, sehingga mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih mandiri dan berkualitas.

Referensi

Hamdan, MA (2022). Perubahan dan Tantangan Pubertas pada Remaja dengan Gangguan Spektrum Autisme . Dirasat: Ilmu Pendidikan, 49 (4), 447–458

Categories
Artikel ASD Post Utama

Strategi Self Care Bagi Orang Tua ASD

Mengasuh anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan tantangan yang besar bagi orang tua seringkali juga dapat menimbulkan stres. Banyak orang tua mengalami kesulitan menerapkan strategi perawatan diri (self care), meskipun hal ini penting untuk kesejahteraan mereka. Melakukan perawatan diri bukanlah tindakan egois, melainkan sebuah kebutuhan agar orang tua tetap sehat fisik dan mental dalam merawat anak ASD. Dengan menerapkan strategi Self Care Bagi Orang Tua ASD dapat mengurangi stres serta meningkatkan kesejahteraan mereka. Perawatan diri tidak harus dilakukan secara besar-besaran atau mahal. Yang terpenting adalah menyadari bahwa menjaga diri sendiri merupakan langkah pertama untuk bisa merawat anak dengan lebih baik.

Orang tua dari anak ASD sering menghadapi tekanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua anak non-ASD. Faktor seperti kondisi anak, kurangnya dukungan sosial dan keterbatasan waktu sering kali menjadi hambatan utama dalam merawat diri sendiri. Oleh karena itu, memahami dan menerapkan strategi perawatan diri sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan emosional dan fisik orang tua.

Strategi Self Care Bagi Orang Tua ASD

Perawatan Diri Fisik

Perawatan diri fisik fokus pada menjaga kesehatan tubuh agar tetap kuat dan bugar. Ini penting karena kelelahan fisik dapat berdampak langsung pada kesejahteraan emosional dan psikologis orang tua. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk melakukan perawatan diri fisik adalah dengan makan teratur dan sehat, berolahraga, tidur yang cukup dan mengambil cuti atau berlibur.

Perawatan diri psikologis

Perawatan diri psikologis bertujuan untuk menjaga kesehatan mental dan mengelola stres yang dihadapi orang tua dalam mengasuh anak ASD. Hal yang dapat dilakukan orang tua untuk merawat diri secara psikologis yaitu dengan menulis perasaan dan pengalaman sehari-hari, melakukan relaksasi, menghabiskan waktu bersama pasangan.

Perawatan Diri Emosional

Perawatan ini membantu orang tua untuk mengatur dan mengalirkan emosi mereka secara sehat. Hal yang dapat dilakukan orang tua yaitu dengan berinteraksi dengan orang terdekat, menonton atau membaca hal yang disukai, bergabung dalam kelompok atau komunitas serta mengizinkan diri sendiri untuk menangis.

Perawatan diri spiritual

Perawatan ini fokus pada ketenangan batin dan penguatan nilai-nilai spiritual yang dapat membantu orang tua tetap optimis dan semangat. Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan berdoa dan berdoa mendekatkan diri kepada Tuhan.

Perawatan diri di tempat kerja

Bagi orang tua yang bekerja, menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sangat penting agar tidak kelelahan secara mental dan emosional. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur jeda saat bekerja, tidak membawa pekerjaan ke rumah serta membuat tempat kerja agar fokus dan maksimal dalam bekerja.

 

Referensi

Gorsky, SM (2014). Strategi perawatan diri di antara orang tua yang memiliki anak yang didiagnosis dengan Gangguan Spektrum Autisme (tesis Magister, California State University, San Bernardino). CSUSB ScholarWorks.

Categories
Artikel ASD

Aktivitas Fisik Bagi Anak Dengan Autism Spectrum Disorder (ASD)

Autism spectrum disorder (ASD) mempengaruhi sekitar 1% anak di dunia dengan tantangan utama pada keterampilan sosial, emosional dan fungsi motorik. Meskipun aktivitas fisik diketahui memberikan banyak manfaat bagi anak dengan ASD namun, hanya sekitar 14% yang memenuhi rekomendasi aktivitas fisik harian dari WHO.

Manfaat Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik dapat memberikan dampak positif pada anak dengan ASD, diantaranya yaitu :

  • Perbaikan keterampilan sosial

Aktivitas yang melibatkan interaksi, seperti olahraga tim, membantu meningkatkan komunikasi dan kerja sama. Misalnya dengan permainan bola atau olahraga berkelompok lainnya memperkuat kemampuan anak dalam membaca isyarat sosial.

  • Pengurangan gejala ASD

Latihan aerobik dan terapi akuatik telah terbukti menjadi salah satu langkah efektif dalam mengurangi perilaku repetitif dan meningkatkan emosional anak.

  • Pengaturan pola tidur dan regulasi emosi

Aktivitas fisik yang dilakukan seperti jogging dapat membantu untuk meningkatkan kualitas tidur dan kemampuan pengendalian emosi anak ASD.

  • Peningkatan Kesehatan fisik

Program pelatihan yang terstruktur, tidak hanya meningkatkan koordinasi dan keseimbangan tetapi juga membantu melindungi anak dari risiko penyakit metabolic.

Tantangan Yang Dihadapi

Dalam melaksanakan aktivitas anak ASD seringkali menghadapi berbagai kendala dalam mengakses aktivitas fisik, seperti :

  • Hambatan sosial

Anak anak dengan ASD sering kali menghadapi stigma yang berakar dari kurangnya pemahaman Masyarakat tentang kondisi mereka. Stigma ini menyebabkan mereka cenderung tidak diterima dalam kelompok sosial, baik oleh teman sebaya maupun orang dewasa. Salah satu kejadian umum yaitu anak ASD tidak akan dipilih pertama dalam kegiatan olahraga kelompok, yang dapat membuat mereka merasa tidak diinginkan atau diabaikan. Selain itu juga, anak ASD kesulitan membaca isyarat sosial dan memahami aturan permainan, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman atau konflik dengan anggota lain.

  • Kekurangan koordinasi dan stabilitas postural yang menyulitkan mereka berpartisipasi dalam aktivitas tertentu

Banyak anak dengan ASD mengalami defisit motorik, seperti kesulitan dalam koordinasi, keseimbangan, dan stabilitas postural. Tantangan ini tidak hanya mempengaruhi kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas fisik secara efektif, tetapi juga meningkatkan risiko cedera selama berolahraga.

  • Kurangnya program olahraga yang inklusif dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka

Sebagian besar program olahraga yang tersedia sering kali tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dengan ASD. Misalnya, kurangnya instruktur yang terlatih untuk menangani anak dengan kebutuhan khusus dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam komunikasi atau metode pengajaran yang kurang efektif. Selain itu, lingkungan olahraga yang kompetitif atau bising dapat menjadi tidak nyaman atau membebani anak dengan sensitivitas sensorik, yang sering kali terjadi pada anak-anak dengan ASD.

Rekomendasi Intervensi Aktivitas Fisik Anak ASD

Untuk memaksimalkan manfaat, aktivitas fisik perlu disesuaikan dengan kebutuhan individu anak dengan ASD. Contohnya:

  • Frekuensi dan Durasi: Aktivitas sebaiknya dilakukan 2–3 kali per minggu selama 45–60 menit.
  • Jenis Aktivitas: Aktivitas seperti terapi akuatik, olahraga ritmis dengan musik, atau seni bela diri dapat dipilih berdasarkan minat dan kemampuan anak.
  • Pendekatan Inklusif: Menciptakan lingkungan yang mendukung, seperti melibatkan keluarga dan teman, dapat membantu anak merasa lebih diterima.

Referensi

Zborowska, A. M. (2024). The role of physical activity and sport in children and adolescents with autism spectrum disorder (ASD): A narrative review. Sports Psychiatry: Journal of Sports and Exercise Psychiatry. Advance online publication.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Applied Behavior Analysis untuk Anak dengan Autisme

Apa itu ABA?

Applied Behavior Analysis (ABA) adalah metode terapi yang banyak digunakan untuk anak dengan Autism Spectrum Disorder dalam mempelajari keterampilan baru dan megurangi perilaku yang menghambat perkembangan mereka. Metode ini didasarkan pada prinsip bahwa perilaku dapat dipelajari dan ditingkatkan melalui penguatan positif. Dengan kata lain, jika anak mendapatkan pujian atau hadiah setelah melakukan sesuatu yang baik, mereka cenderung akan kembali ke perilaku tersebut.

Manfaat Applied Behavior Analysis (ABA) untuk anak Autsime

Applied Behavior Analysis (ABA) dapat membantu anak dalam berbagai aspek, seperti :

  • Meningkatkan kemampuan bicara dan komunikasi

Anak dapat belajar cara meminta sesuatu dengan kata-kata, Gerakan atau gambar.

  • Meningkatkan keterampilan sosial

Anak mengajarkan bagaimana berinteraksi dengan orang lain, seperti bermain dengan teman sebaya mereka.

  • Meningkatkan keterampilan aktivitas sehari-hari

Seperti makan sendiri, mencuci dan menjaga kebersihan diri sendiri.

  • Mengurangi perilaku yang menghambat perkembangan

Seperti tantrum, agresi atau kebiasaan berulang yang dapat menganggu aktivitas sehari-hari ataupun kehidupan sosialnya.

Metode yang digunakan dalam Applied Behavior Analysis (ABA)

Setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga terapi ABA akan disesuaikan dengan kondisi yang mereka butuhkan. Berikut beberapa metode yang sering digunakan dalam ABA :

  • Discrete Trial Training (DTT) – Melatih anak secara bertahap dalam lingkungan yang terstruktur. Misalnya, anak diajarkan menyebut warna dengan cara yang sederhana dan berulang.
  • Pivotal Response Training (PRT) – Mengajarkan keterampilan dalam suasana yang lebih santai dan alami, seperti bermain sambil belajar.
  • Functional Communication Training (FCT) –Membantu anak menemukan cara berkomunikasi yang lebih efektif agar tidak kecewa, misalnya dengan menggunakan kartu bergambar jika belum bisa bicara

Tantangan dalam Applied Behavior Analysis (ABA)

Meskipun ABA terbukti efektif, ada beberapa tantangan yang mungkin dihadapi orang tua, antara lain :

  • Biaya yang cukup mahal – Tidak semua terapi ABA ditanggung oleh asuransi atau bantuan pemerintah.
  • Tidak semua anak cocok dengan ABA – Setiap anak unik, dan mungkin ada metode lain yang lebih sesuai.
  • Kontroversi di komunitas autisme – Beberapa orang menilai ABA terlalu menekankan perubahan perilaku tanpa memperhatikan kenyamanan anak. Namun, saat ini ABA lebih fokus pada pendekatan yang ramah dan positif.

Terapi ABA dapat menjadi pilihan yang baik untuk membantu anak autis mempelajari keterampilan baru dan menjalani kehidupan yang lebih mandiri. Namun, penting bagi orang tua untuk mencari yang tepat, memilih terapi yang berkualitas, dan memastikan bahwa terapi dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan menghormati informasi anak.

Referensi

Anderson, A., & Carr, M. (2021). Analisis perilaku terapan untuk autisme: Bukti, isu, dan hambatan implementasi. Laporan Gangguan Perkembangan Terkini, 8 (3), 191–200.

Gitimoghaddam, M., Chichkine, N., McArthur, L., Sangha, SS, & Symington, V. (2022). Analisis perilaku terapan pada anak-anak dan remaja dengan gangguan spektrum autisme: Tinjauan cakupan. Perspektif tentang Ilmu Perilaku, 45 (3), 521–557

Categories
Artikel ASD

Saudara Kandung dan Anak ASD, Peran dalam Perkembangan

Saudara kandung menjadi bagian penting dalam kehidupan anak autisme spektrum disorder (ASD). Saudara kandung tidak hanya menjadi teman bermain, tetapi mereka juga akan memberikan pengaruh pada setiap aspek perkembangan anak ASD, baik secara sosial, emosional maupun adaptif. Sehingga, hubungan saudara kandung memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi adaptasi kemampuan dan sosial anak ASD

Interaksi Saudara Kandung Sebagai Wadah Pembelajaran

Interaksi yang terjadi antara saudara kandung menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran dan pengembangan keterampilan anak ASD. Saudara kandung yang lebih tua seringkali bertindak sebagai model atau pembimbing, sehingga membantu adiknya untuk belajar berkomunikasi, beradaptasi dalam situasi sosial dan memahami emosi. Sebaliknya, dalam beberapa kasus, saudara kandung yang lebih muda juga dapat mengambil peran tersebut, terutama ketika saudaranya yang ASD adalah keluarga yang lebih tua dalam keluarga.

Frekuensi dan kualitas interaksi antara anak ASD dan saudara kandungnya memiliki dampak. Interaksi yang lebih sering dan berkualitas tinggi, seperti bermain bersama atau berbagi pengalaman positif, dapat meningkatkan keterampilan sosial dan adaptasi anak ASD.

Dampak dan Tantangan

Memiliki saudara kandung dapat memberikan perlindungan emosional bagi anak ASD. Anak ASD yang memiliki saudara kandung lebih tua cenderung menunjukkan tingkat masalah perilaku yang lebih rendah dan kemampuan sosial yang lebih baik dibandingkan anak yang tidak memiliki saudara kandung. Hubungan hangat antara saudara kandung juga dapat membantu mengurangi rasa cemas dan meningkatkan rasa percaya diri anak ASD.

Namun, tantangan juga bisa muncul, misalnya konflik dalam hubungan saudara kandung dapat mempengaruhi emosi dan perilaku anak ASD. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memfasilitasi interaksi positif anak-anak mereka. Mendorong kegiatan bermain bersama atau mendiskusikan cara mengatasi konflik, merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan orang tua.

Peran Orang Tua Dalam Mendukung Hubungan ASD Dengan Saudara Kandung

Orang tua menjadi kunci dalam membentuk hubungan yang sehat antara anak ASD dan saudara kandungnya. Dengan memberikan arahan yang tepat dan menciptakan lingkungan yang mendukung. Orang tua dapat membantu kedua pihak untuk saling memahami dan menerima satu sama lain. Selain itu, orang tua juga dapat memberikan kesempatan kepada saudara kandung untuk berkontribusi dalam terapi atau keluarga lain yang mendukung perkembangan anak ASD.

Saudara kandung memiliki peran penting dalam perkembangan anak ASD. Melalui hubungan yang positif dan interaksi yang mendukung, mereka dapat membantu anak ASD mengembangkan kemampuan sosial, emosional, dan adaptif yang penting untuk kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting bagi keluarga untuk menghargai dan mendukung dinamika hubungan saudara kandung demi memberikan dampak positif yang berkelanjutan.

Referensi

Cuskelly, M., Gilmore, L., Rayner, C., Girkin, F., Mulvihill, A., & Slaughter, V. (2023). Dampak saudara kandung yang mengalami perkembangan normal terhadap hasil perkembangan anak penyandang disabilitas: Tinjauan cakupan. Penelitian tentang Disabilitas Perkembangan, 140, 104574.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Tantrum Pada Sindrom Aperger dan HFA

Tantrum pada Sindrom Asperger (AS) dan Autism Tingkat Tinggi (HFA) merupakan respon emosional yang sering terjadi. Tantrum bukanlah tindakan acak, melainkan bagian dari siklus tiga tahap yaitu rumbling, range dan recovery. Setiap tahap memiliki ciri khas dan memerlukan intervensi yang berbeda. Sehingga penting untuk memahami tantrum pada sindrom aperger dan HFA agar dapat memberikan intervensi yang tepat. 

Tahapan Tantrum Sindrom Aperger dan HFA

Tahap Rumbling

Tahap ini ditandai dengan adanya perubahan perilaku awal yang tampak kecil, seperti mengetuk kaki, menggenggam tangan, atau menarik diri secara emosional. Sehingga, jika dibiarkan perilaku ini dapat berkembang menjadi ledakan emosi. Adapun intervensi yang dapat dilakukan yaitu : antisipectic bouncing (mengalihkan anak dari situasi yang memicu stres), proximity control (sedak secara fisik namun tidak memaksa) dan signal interfence (memberikan sinyal non-vernal untuk membantu anak menyadari emosinya).

Rentang tahap

Jika sudah dilakukan intervensi pada tahap sebelumnya namun gagal, anak telah memasuki tahap Range. Di sini, anak mungkin menampilkan perilaku agresif seperti berteriak, memukul, atau merusak barang. Fokus utama adalah memastikan keselamatan anak dan orang di sekitarnya. Pada tahap ini, intervensi terbaik adalah membawa anak ke tempat yang tenang seperti home base untuk menenagkan diri.

Tahap pemulihan

Setelah ledakan emosi, anak memasuki tahap pemulihan. Anak mungkin akan merasa lelah, menyesal atau bahkan tidak mengingat apapun yang terjadi. Pada tahap ini, penting untuk mengembalikan anak ke rutinitas normal secara perlahan dan melibatkan anak dalam aktivitas yang disukai untuk memulihkan suasana hati.

Pencegahan Tantrum Sindrom Aperger dan HFA

Pencegahan tantrum merupakan langkah proaktif untuk membantu anak dengan sindrom aspeger (AS),  Autism Tingkat tinggi (HFA) dan gangguan terkait agar dapat mengelola stress mereka lebih baik. Strategi ini mencakup peningkatan sosial, kesadaran sensorik, dan kesadaran diri.

Peningkatan pemahaman sosial

Anak-anak dengan AS dan HFA sering menghadapi kesulitan dalam memahami aturan sosial, memecahkan masalah sosial, dan merespons situasi dengan tepat. Metode untuk meningkatkan pemahaman ini meliputi:

  • Cartooning (Pencatatan Visual)

Anak diajarkan menggunakan gambar atau komik sederhana untuk memahami skenario sosial yang kompleks. Gambar dapat membantu mereka mengenali emosi, memahami percakapan, atau mengidentifikasi konsekuensi tindakan mereka. Teknik ini sangat efektif untuk anak-anak yang memiliki gaya belajar visual.

  • Social Autopsies

Strategi ini dilakukan setelah anak mengalami kesalahan sosial. Dalam proses ini

  1. Anak dan pendamping mengidentifikasi apa yang salah.
  2. Mereka menentukan siapa yang dirugikan.
  3. Merumuskan cara memperbaiki kesalahan.
  4. Menyusun rencana untuk mencegah kesalahan serupa di masa depan.

Pendekatan ini membantu anak memahami sebab-akibat dalam interaksi sosial dan meningkatkan kemampuan mereka dalam beradaptasi.

Kesadaran sensorik

Banyak anak dengan AS dan HFA memiliki sensitivitas terhadap rangsangan sensorik, seperti suara, cahaya, atau tekstur. Ketidakseimbangan sensorik ini sering kali menjadi pemicu tantrum. Metode untuk meningkatkan kesadaran sensorik meliputi:

  • Program “How Does Your Engine Run?”

Program ini mengajarkan anak untuk mengenali tingkat kewaspadaan sensorik mereka (terlalu rendah, terlalu tinggi, atau seimbang) dan mengajarkan cara mengatur diri agar mencapai tingkat kewaspadaan optimal. Contoh: Anak belajar mengenali kapan mereka merasa “terlalu bersemangat” dan menggunakan teknik seperti pernapasan dalam untuk menenangkan diri.

  • Pendekatan Sensorik dalam Kehidupan Sehari-Hari

Orang tua dan guru dapat menggunakan metode sederhana seperti menyediakan mainan sensorik (misalnya bola stres) atau menciptakan ruang tenang (home base) untuk membantu anak menenangkan diri.

Kesadaran Diri

Kesadaran diri membantu anak mengenali emosi mereka, memahami tanda-tanda awal stres, dan menggunakan strategi untuk mengatasi emosi secara mandiri. Beberapa metode yang efektif adalah:

  • Incredible 5-Point Scale

Metode ini membantu anak mengklasifikasikan tingkat emosi atau stres mereka pada skala 1-5. Contoh

  1. Level 1: Tenang dan bahagia.
  2. Level 3: Mulai merasa frustrasi.
  3. Level 5: Sangat marah dan mendekati tantrum.

Setelah mengenali tingkat emosinya, anak diajarkan strategi untuk menenangkan diri pada setiap level, seperti menarik napas dalam atau meminta waktu sendiri.

  • Pengenalan Emosi dengan Cues Visual

Anak diajarkan mengenali tanda-tanda emosional melalui ekspresi wajah, bahasa tubuh, atau situasi tertentu. Ini membantu mereka lebih peka terhadap emosi mereka sendiri dan orang lain.

  • Pelatihan Relaksasi

Teknik relaksasi seperti pernapasan ringan, pernapasan dalam, atau yoga sederhana dapat diajarkan untuk mengurangi tingkat stres anak.

 

Referensi

Myles, B. S., & Southwick, J. (2005). The cycle of tantrums, rage, and meltdowns in children and youth with Asperger syndrome, high-functioning autism, and related disabilities. Paper presented at the Inclusive and Supportive Education Congress, International Special Education Conference, Glasgow, Scotland. Retrieved from http://www.isec2005.org.uk

Categories
Artikel ASD

Membangun Inklusi Di Sekolah

            Inklusi adalah filosofi yang menyatakan bahwa ruang kelas dan ruang bermasyarakat tidak lengkap tanpa mengikutsertakan anak-anak dengan kebutuhan khusus. Inklusi merupakan sebuah pola pikir bagaimana memberi kesempatan kepada semua anak, salah satunya adalah dengan belajar dikelas yang sama. Sama seperti anak-anak lainnya, anak dengan kebutuhan khusus juga berhak menerima Pendidikan yang layak. Oleh karena itu, penting untuk membangun inklusi di sekolah.

Memahami Perbedaan Autis dengan Kebutuhan Khusus Lainnya

Autism Spectrum Disorder (ASD) dari kata Auto, yang berarti sendiri. ASD sering diartikan sebagai seorang anak yang hidup dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan sebuah hambatan perkembangan yang dialami seseorang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan dimana penyandangnya memiliki ciri khusus utama yaitu hambatan interaksi, komunikasi dan perilaku. Berbeda dari bentuk kebutuhan khusus lain yang sering diklasifikasikan berdasarkan berat atau ringan, autisme diklasifikasikan berdasarkan karakteristik yang dipayungi dengan istilah spektrum. Masing-masing spektrum memiliki karakteristik yang unik. Spektrum dari autisme yaitu gangguan autistik atau autisme, anak-anak disintegratif masa kanak-kanak, sindrom asperger, sindrom rett, gangguan perkembangan pervasif-tidak-lainnya yang ditentukan (PDD-NOS)

Dukungan dan Kebijakan Pemerintah

Sekolah merupakan tempat yang penting bagi anak-anak untuk belajar, tumbuh dan bersosialisasi. Namun, bagi anak autis, pengalaman di sekolah dapat menjadi tantangan tersendiri. Sehingga, membangun lingkungan inklusi sangat penting untuk mendukung perkembangan mereka. Selain upaya dari pihak sekolah, dukungan dari pemerintah juga memegang peranan penting dalam menciptakan inklusi yang efektif. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan dukungan yang kuat untuk Pendidikan inklusif, termasuk bagi anak autis.

  • Kebijakan pemerintah inklusif

Melalui peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif, pemerintah telah menetapkan bahwa setiap anak memiliki hak untuk memperoleh Pendidikan yang layak, termasuk anak berkebutuhan khusus seperti anak autis. Kebijakan ini mendorong sekolah umum untuk menerima siswa dengan kebutuhan khusus dan menyediakan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

  • Pendirian Sekolah Luar BIasa (SLB) dan Unit Layanan Inklusi

Pemerintah membangun banyak SLB di berbagai daerah untuk mendukung anak-anak berkebutuhan khusus. Selain itu, beberapa sekolah umum juga telah dilengkapi dengan Unit Layananan Inklusif (ULI) untuk mendukung dan memberikan pendampingan khusus bagi anak autis yang belajar di sekolah reguler.

  • Bantuan Dana dan Fasilitas

Pemerintah juga menyediakan bantuan operasional (BOS) inklusif yang dapat digunakan untuk menyediakan fasilitas ramah disabilitas, alat bantu pembelajaran, serta kegiatan yang mendukung inklusi. Selain itu, terdapat upaya peningkatan infrastruktur sekolah agar lebih ramah terhadap anak berkebutuhan khusus.

Upaya Sekolah Dalam Membangun Inklusi

Selain kebijakan pemerintah, untuk membangun inklusi di sekolah dapat mengambil langkah-langkah untuk mendukung inklusi bagi anak autisme :

  • Meningkatkan kesadaran dan pemahaman

Sekolah dapat mengadakan seminar dan pelatihan khusus untuk meningkatkan pemahaman guru, siswa, dan orang tua tentang autisme.

  • Menyediakan lingkungan ramah sensorik

Fasilitas seperti ruang tenang dan area khusus belajar dapat membantu anak autis merasa nyaman.

  • Mengadopsi kurikulum fleksibel

Kurikulum dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu anak, seperti memberikan waktu tambahan untuk tugas atau pendekatan belajar visual.

  • Melibatkan orang tua dan ahli

Orang tua dan tenaga ahli, seperti terapis, dapat membantu sekolah dalam memberikan dukungan terbaik bagi anak autis.

Inklusi bukan hanya tentang memberikan akses, tetapi juga memastikan anak merasa diterima, didukung, dan mampu mencapai potensi maksimalnya. Dukungan pemerintah melalui kebijakan fasilitas, ditambah dengan komitmen sekolah dan Masyarakat, dapat membangun lingkungan Pendidikan yang benar-benar inklusif bagi anak autis. Dengan kolaborasi ini, sekolah dapat membangun masa depan yang lebih cerah bagi semua anak, tanpa kecuali.

Categories
Artikel ASD Edukasi MAC

Pentingnya Rutinitas Untuk Mendukung Perkembangan Anak ASD

Rutinitas Anak ASD

Anak dengan ASD memiliki kebutuhan khusus yang mempengaruhi cara untuk merespons lingkungan dan menjalani aktivitas sehari – hari. Salah satu cara yang efektif untuk membantu anak ASD adalah dengan menyusun rutinitas yang terstruktur. Sehingga, Rutinitas penting untuk mendukung perkembangan anak ASD. Namun, dalam Menyusun rutinitas untuk anak ASD, sangat mungkin bagi orang tua untuk menahan perlawanan. Adapun beberapa tantangan yang mungkin dihadapi dalam Menyusun runititas untuk anak ASD, yaitu : 

  1. Kurangnya Fleksibilitas

Anak dengan ASD sering memiliki kecenderungan terhadap rutinitas yang konsisten dan dapat merasa cemas atau marah ktika rutinitas tersebut berubah. Hal ini terjadi karena disebabkan oleh kesulitan meraka dalam memahami dan menyesuaikan diri dengan situasi baru.

  1. Perilaku Bermasalah 

Ketika dihadapkan pada aktivitas baru, anak ASD mungkin merasa tidak nyaman serta mereka tidak tahu apa yang diharapkan, sehingga mereka menolak aktivitas tersebut. Penolakan ini akan muncul dalam bentuk perilaku bermasalah, seperti tantrum, agresi, atau menarik diri.

  1. Kondisi lingkungan

Kurangnya dukungan fasilitas, seperti terapi atau program pendidikan khusus, dapat menyulitkan keluarga dalam membangun rutinitas. Beberapa keluarga mungkin tinggal di daerah yang tidak memiliki akses ke fasilitas pendukung, sehingga hal ini dapat menghambat orang tua dalam Menyusun rutinitas anak ASD.

  1. Beban emosional orang tua

Stres dan kelelahan orang tua dalam menangani kebutuhan khusus anak sering kali menjadi penghambat dalam menjaga konsistensi rutinitas. Orang tua anak ASD sering menghadapi stres dan kelelahan, baik fisik maupun emosional, karena tanggung jawab yang besar. Hal ini juga menghambat dalam menyusun dan konsisten dalam menjalankan rutinitas.

Mengapa Anak ASD Membutuhkan Rutinitas?

Anak ASD sering kali mengalami kesulitan dalam memahami dan menghadapi situasi baru, hal ini membuat anak cemas saat menghadapi perubahan. Rutinitas akan memberikan struktur yang jelas sehingga anak dapat merasa aman dan nyaman. Adapun beberapa alasan utama pentingnya yaitu :

  1. Prediktabilitas 

Anak ASD akan merasa nyaman dengan rutinitas yang terstruktur karena mereka akan merasa kesulitan memahami atau memprediksi situasi baru. Prekdiktabilitas membuat anak memahami apa yang akan terjadi selanjutnya, sehingga akan mengurangi rasa cemas atau takut terhadap hal yang tidak mereka ketahui

  1. Mendukung keterampilan sosial

kegiatan yang terstruktur akan mendorong anak ASD untuk berlatih interaksi sosial dalam situasi yang mampu mereka prediksi. Misalnya saat mereka secara konsisten bertemu orang lain pada waktu tertentu, mereka dapat melatih keterampilan seperti menyapa atau berbagi.

  1. Meningkatkan fokus kegiatan

Untuk dapat memusatkan perhatian pada tugas tertentu karena adanya pola yang konsisten. Rutinitas yang konsisten membantu anakASD untuk tetap fokus pada aktivitas tertentu. Pola yang berulang membuat anak mengetahui apa yang diharapkan dari mereka, sehingga mereka akan lebih berkonsentrasi.

  1. Mengurangi perilaku bermasalah ketika melaksanakan kegiatan

Adanya rutinitas yang terstruktur, anak akan lebih sedikit memiliki peluang untuk merasa bingung atau frustasi. Karena, ketika anak tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya atau merasa bingung, mereka cenderung menunjukkan perilaku bermasalah seperti tantrum, menarik diri atau agresi.

Categories
Artikel ASD Edukasi MAC

Pentingnya Deteksi Dini untuk anak ASD

 

Pentingnya deteksi dini

Apa itu Mendeteksi Dini Autism?

Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan berperilaku. Gejala autisme dapat muncul sejak dini, meskipun tidak selalu terlihat jelas pada awalnya. Oleh karena itu, pentingnya deteksi dini anak ASD menjadi langkah penting untuk memastikan anak mendapatkan dukungan yang sesuai sejak awal kehidupannya, mengingat anak dengan ASD memerlukan perhatian khusus dan lebih banyak dukungan.

Apa itu Deteksi Dini?

Pentingnya Deteksi dini adalah proses untuk mengenali tanda-tanda awal atau kondisi tertentu, termasuk autisme, pada usia yang masih sangat muda. Proses ini melibatkan pengamatan langsung oleh tenaga medis, masukan dari orang tua, serta penggunaan alat skrining standar yang dirancang khusus untuk mendeteksi ASD. Deteksi dini bertujuan untuk mengidentifikasi risiko atau gejala autisme sejak awal, sehingga anak dapat menerima intervensi yang lebih cepat dan tepat, yang sangat penting untuk mendukung perkembangan mereka.

Pentingnya deteksi dini anak ASD

1. Memberikan Intervensi pada Waktu yang Tepat

Salah satu keuntungan utama dari deteksi dini adalah kemampuan untuk memberikan intervensi pada saat yang tepat. Anak-anak di usia dini memiliki otak yang sangat plastis, yang memungkinkan mereka beradaptasi lebih cepat terhadap stimulasi yang diberikan. Dengan mendeteksi autisme lebih awal, intervensi yang diberikan, baik dalam bentuk terapi sosial, komunikasi, atau perilaku, akan lebih efektif membantu anak berkembang sesuai dengan potensinya.

2. Mencegah Keterlambatan Penanganan

Salah satu tantangan utama dalam penanganan autisme adalah keterlambatan dalam diagnosis. Meskipun gejala autisme sering muncul sejak usia sangat dini, diagnosis sering baru dilakukan pada usia 4-5 tahun. Deteksi dini memungkinkan anak untuk segera mendapatkan terapi atau dukungan yang diperlukan, sehingga memperkecil risiko keterlambatan dalam perkembangan anak dan mengurangi kesulitan yang mungkin mereka hadapi.

3. Mengurangi Risiko Perilaku Bermasalah

Anak autis yang tidak mendapatkan penanganan atau dukungan sejak dini cenderung menghadapi tantangan perilaku yang lebih besar ketika mereka tumbuh dewasa. Intervensi yang tepat di usia dini dapat membantu anak belajar cara mengelola emosinya, beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, dan mengurangi potensi perilaku bermasalah yang dapat muncul di kemudian hari.

4. Meningkatkan Kualitas Hidup dan Kesejahteraan Keluarga

Melalui deteksi dini , orang tua dapat mengetahui lebih lanjut kondisi awal anak mereka dan memahami kebutuhan spesifik anak. Hal ini tidak hanya membantu anak berkembang dengan lebih baik, tetapi juga membantu mengurangi kebingungan dan stres pada keluarga. Dengan mengetahui lebih awal apa yang perlu dilakukan, keluarga dapat merencanakan langkah-langkah yang tepat untuk mendukung anak dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Bagaimana Melakukan Deteksi Dini Autisme?

Deteksi dini tidak hanya melibatkan alat skrining medis, tetapi juga memerlukan pengamatan aktif dari orang tua dan tenaga medis. Berikut adalah beberapa cara untuk melakukan deteksi dini autisme pada anak:

1. Mengawasi Tanda Awal Autisme

Tanda-tanda awal autisme pada anak dapat meliputi beberapa perilaku yang terlihat sejak usia sangat muda. Beberapa tanda yang perlu diperhatikan antara lain:

  • Kurangnya kontak mata dengan orang lain.
  • Keterbatasan komunikasi non-verbal , seperti tidak menunjuk atau menyesuaikan tangan.
  • Tidak menanggapi saat dipanggil namanya atau tidak menunjukkan perhatian terhadap lingkungannya.
  • Perilaku berulang , seperti melambaikan tangan atau melakukan gerakan yang tidak biasa.

2. Konsultasi dengan Tenaga Medis

Jika orang tua mengungkapkan adanya gejala autisme pada anak mereka, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah konsultasi dengan dokter anak atau spesialis perkembangan anak . Dokter akan melakukan penilaian lebih lanjut dan memberikan Arahan mengenai langkah-langkah yang perlu diambil untuk pemeriksaan lebih lanjut.

3. Menggunakan Alat Skrining

Alat skrining standar dapat membantu dalam mengidentifikasi tanda-tanda awal autisme. Di Malang Autism Center (MAC) , kami menyediakan layanan deteksi dini yang dirancang untuk membantu orang tua mengenali gejala autisme pada anak mereka secara lebih akurat. Dengan menggunakan alat skrining yang tepat, anak-anak yang berisiko dapat segera mendapatkan intervensi yang diperlukan.

Daftar Pustaka

Zwaigenbaum, L., Brian, JA, & Ip, A. (2019). Deteksi dini gangguan spektrum autisme pada anak kecil. Pediatrics and Child Health (Kanada) , 24 (7), 424–432. https://doi.org/10.1093/pch/pxz119

 

Buka WhatsApp
Butuh Bantuan?
Halo! Apa yang bisa saya bantu