Malang Autism Center

Categories
Artikel ASD

Diagnosis Autisme pada Orang Dewasa yang Terlambat

Pernahkah Anda merasa anak Anda berbeda, tetapi tidak tahu kenapa? Mungkin dia agak sulit berinteraksi dengan teman-temannya atau terlihat kesulitan dalam berkomunikasi. Bisa jadi itu adalah gejala dari Gangguan Spektrum Autisme (ASD). Namun, untuk sebagian orang, diagnosis autisme ini baru terjadi pada usia dewasa. Autisme pada orang dewasa sering kali terlambat terdeteksi, dan hal ini dapat membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan mereka.

Tapi, tahu nggak sih? Banyak orang yang baru terdiagnosis autisme pada usia dewasa! Nah, di artikel ini, kita akan bahas kenapa diagnosis autisme yang terlambat bisa berdampak besar, dan mengapa penting banget bagi anak untuk mendapatkan diagnosis sedini mungkin. Yuk, kita cari tahu!

Autisme adalah kondisi yang mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain, dan meresapi dunia di sekitarnya. Gejalanya bisa bervariasi banget, makanya disebut spektrum. Ada yang punya tantangan besar dalam kehidupan sehari-hari, ada juga yang terlihat seperti “normal”, tapi tetap ada kesulitan dalam beberapa hal.

Jadi, sebenarnya tidak ada dua orang dengan autisme yang sama. Ada yang lebih mudah beradaptasi, ada yang membutuhkan bantuan lebih besar dalam menjalani kegiatan sehari-hari.

Kenapa Diagnosis Dini Itu Penting?

Seharusnya, anak-anak yang memiliki tanda-tanda autisme bisa terdeteksi sejak dini, kan? Dengan begitu, mereka bisa langsung mendapatkan intervensi yang membantu mereka berkembang dengan lebih baik. Sayangnya, banyak anak terutama yang gejalanya lebih ringan baru terdiagnosis saat sudah dewasa. Hal ini bisa sangat mempengaruhi kehidupan mereka, lho.

Bayangkan, banyak orang dewasa yang baru tahu bahwa mereka punya autisme, dan ternyata mereka sudah berjuang selama bertahun-tahun tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Perasaan bingung, kesepian, dan tidak dimengerti pun jadi hal yang sering mereka rasakan.

Kenapa ya diagnosis autisme bisa terlambat? Ternyata, banyak faktor yang berperan! Terkadang, tanda-tanda autisme pada anak-anak yang berfungsi tinggi atau “berkebutuhan ringan” dianggap sepele atau bahkan tidak terlihat. Misalnya, anak yang kesulitan bergaul atau sulit mengungkapkan perasaannya bisa saja dianggap “pemalu” atau “aneh” saja, bukan gejala dari autisme.

Selain itu, kadang-kadang orang tua atau bahkan guru tidak tahu banyak tentang autisme, jadi mereka mungkin berpikir perilaku anak hanya bagian dari “fase” atau karakter anak biasa. Akhirnya, mereka tidak mencari bantuan profesional yang lebih mendalam.

Bahkan, faktor gender juga berperan, lho! Karena banyak orang menganggap autisme lebih sering terjadi pada anak laki-laki, gejala pada anak perempuan sering kali terabaikan.

Dampak Diagnosis Autisme yang Terlambat Pada Usia Dewasa

Kalau diagnosis datang terlambat, bagaimana rasanya? Banyak orang dewasa yang terdiagnosis autisme mengatakan kalau mereka merasa bingung dan terisolasi selama bertahun-tahun. Mereka juga sering salah diagnosis, misalnya dengan kecemasan atau ADHD, yang membuat pengobatannya jadi tidak efektif. Hal ini justru memperburuk keadaan.

Bahkan, tanpa diagnosis yang jelas, anak-anak atau remaja ini berjuang lebih keras di sekolah, dalam pertemanan, dan bahkan dalam kehidupan keluarganya. Mereka sering merasa kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan bahkan sering diperlakukan dengan cara yang salah.

Autisme memang bukan kondisi yang bisa hilang begitu saja, tetapi dengan diagnosis dini dan dukungan yang tepat, anak-anak bisa berkembang dengan baik. Jika Anda merasa anak Anda “berbeda”, jangan ragu untuk bertanya dan mencari bantuan. Dukungan Anda sebagai orang tua bisa sangat membantu mereka mencapai potensi terbaiknya.

Referensi

Lupindo, BM, Maw, A., & Shabalala, N. (2022). Diagnosis autisme yang terlambat: Menjelajahi pengalaman laki-laki yang didiagnosis autisme di masa dewasa. Psikologi Terkini , 42(24), 24181–24197.

Categories
Artikel ASD

Pentingnya Kesadaran Neurodiversity dalam Masyarakat

Pernahkah terlintas dalam pikiran bahwa setiap individu memiliki cara yang unik dalam berpikir, belajar, dan merespons dunia sekitar? Mungkin sebagian orang lebih sensitif terhadap rangsangan tertentu, lebih fokus pada detail, atau memiliki cara berkomunikasi yang berbeda. Hal-hal tersebut dapat menjadi bagian dari yang disebut neurodivergent, dan di sinilah pentingnya kesadaran neurodiversity untuk memahami serta menghargai perbedaan tersebut.

Apa Itu Neurodiversity?

Neurodiversity merujuk pada keragaman cara berpikir, belajar, dan berinteraksi yang dimiliki setiap individu. Istilah ini mencakup kondisi seperti autisme, ADHD, disleksia, dan beberapa gangguan lainnya. Namun, perlu dipahami bahwa neurodivergent bukanlah sebuah gangguan atau kekurangan, melainkan variasi dalam cara otak bekerja.

Sebagai contoh, anak dengan autisme mungkin memiliki kemampuan untuk fokus pada detail yang orang lain lewatkan, sementara seseorang dengan ADHD cenderung sangat kreatif dan energik. Perbedaan ini bukanlah hal yang harus diperbaiki, melainkan sesuatu yang perlu dipahami dan dihargai.

Mengapa Kesadaran Neurodiversity Ini Sangat Penting?

Sayangnya, banyak masyarakat yang masih terjebak dalam stigma bahwa perbedaan neurologis adalah sesuatu yang “salah” atau “kurang”. Anak dengan autisme atau ADHD seringkali dianggap bermasalah, padahal mereka hanya berinteraksi dengan dunia dengan cara yang berbeda. Tanpa kesadaran yang tepat, mereka bisa merasa tidak diterima dan sulit berkembang dengan maksimal.

Sebaliknya, jika masyarakat lebih terbuka dan memahami neurodiversity, individu-individu dengan kondisi ini bisa diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan potensinya. Kesadaran ini juga mengarah pada pengurangan diskriminasi dan lebih banyak ruang bagi mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat.

Dengan meningkatnya pemahaman terhadap neurodiversity, dampaknya bisa sangat positif, baik untuk individu maupun untuk masyarakat secara keseluruhan. Anak-anak yang neurodivergent bisa tumbuh dengan rasa percaya diri, karena mereka merasa diterima dan dihargai. Begitu pula di sekolah atau tempat kerja, mereka dapat berkontribusi dengan cara yang lebih sesuai dengan kemampuan mereka.

Masyarakat yang lebih inklusif dan memahami keberagaman cara berpikir akan menciptakan lingkungan yang lebih adil, di mana setiap individu diberikan kesempatan untuk berkembang, terlepas dari cara mereka memproses informasi atau berinteraksi dengan orang lain.

Langkah Kecil yang Bisa Diambil untuk Meningkatkan Kesadaran Neurodiversity

Tentu saja, ada banyak cara untuk mendukung kesadaran neurodiversity ini, dan hal tersebut dimulai dari langkah-langkah sederhana, seperti :

  • Menggunakan bahasa yang lebih inklusif, Hindari menggunakan istilah yang mengandung stigma negatif. Misalnya, bukannya mengatakan “sulit berinteraksi”, lebih baik menyebutkan bahwa individu tersebut memiliki “cara berinteraksi yang berbeda”.
  • Meningkatkan edukasi diri, Membaca lebih banyak tentang neurodiversity dan berbagi pengetahuan dengan orang lain akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih memahami perbedaan ini.
  • Mendukung kampanye atau organisasi yang berfokus pada neurodiversity, Ada banyak komunitas yang berupaya meningkatkan kesadaran dan memberikan dukungan bagi individu neurodivergent. Dukungan terhadap mereka akan mempercepat perubahan positif di masyarakat.

Perbedaan dalam cara berpikir, belajar, dan berinteraksi adalah hal yang wajar dan alami. Dengan memahami dan menerima neurodiversity, masyarakat dapat menciptakan dunia yang lebih ramah dan inklusif bagi semua individu, tanpa terkecuali. Keberagaman ini bukanlah hal yang harus dihindari, tetapi sebaliknya, harus dirayakan sebagai bagian dari kekayaan yang ada dalam kehidupan bersama.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Musik Cara Lembut Membantu Anak dengan Autisme

Bagi banyak individu dengan autisme, kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dapat menjadi tantangan tersendiri. Kesulitan dalam menjalin kontak mata, mengungkapkan emosi, hingga memahami bahasa tubuh merupakan bagian dari hambatan yang sering mereka alami dalam berinteraksi sosial. Namun, terdapat satu medium yang terbukti mampu menjembatani keterbatasan tersebut yaitu musik.

Lebih dari sekadar bentuk hiburan, musik telah dikenal dalam dunia terapi sebagai sarana yang efektif untuk membantu anak-anak dengan autisme dalam menstabilkan emosi, meningkatkan fokus, serta mendorong kemampuan ekspresi diri semuanya dapat dicapai tanpa tuntutan komunikasi verbal yang kompleks.

Kenapa Musik Bisa Efektif untuk Anak Autisme?

Musik punya struktur yang bisa ditebak irama, nada, dan repetisi yang stabil. Anak-anak dengan autisme, yang sering merasa nyaman dengan rutinitas dan pola yang konsisten, merespons dengan baik terhadap elemen-elemen ini.

Saat mendengarkan musik atau ikut terlibat dalam aktivitas musikal (seperti menepuk tangan, bernyanyi, atau memainkan alat musik sederhana), anak dapat belajar :

  • Mengenali dan mengekspresikan emosi
  • Melatih fokus dan konsentrasi
  • Mengembangkan kemampuan sosial, seperti menunggu giliran atau mengikuti arahan
  • Meningkatkan kepercayaan diri saat berhasil menyelesaikan aktivitas tertentu.

Musik Menjadi Bahasa

Salah satu tantangan utama yang dihadapi anak-anak dengan autisme adalah kesulitan dalam berkomunikasi secara verbal. Banyak dari mereka mungkin belum bisa berbicara, atau hanya bisa mengucapkan sedikit kata. Ada juga yang bisa berbicara, tapi sulit memahami makna dari ekspresi wajah, nada suara, atau bahasa tubuh orang lain. Dalam kondisi seperti ini, musik hadir sebagai “bahasa universal” yang tidak membutuhkan kata-kata.

Ketika anak mendengarkan musik, mereka tidak perlu memahami arti lirik atau teori nada untuk bisa merespons. Mereka bisa :

  • Menepuk tangan mengikuti irama
  • Menggerakkan tubuh secara spontan
  • Tersenyum atau menunjukkan ekspresi bahagia saat lagu kesukaannya diputar
  • Menunjukkan ketertarikan dengan memperhatikan sumber suara

Respons-respons ini adalah bentuk komunikasi non-verbal yang sangat berharga, karena menunjukkan adanya keterhubungan emosi antara anak dengan lingkungannya. Di sinilah musik berfungsi sebagai media komunikasi alternatif yang memberi anak kesempatan untuk “berbicara” dengan cara mereka sendiri.

Tidak jarang, musik juga menjadi pemicu anak untuk mulai mencoba meniru suara, menyanyi, atau mengeluarkan suara tertentu yang sebelumnya tidak mereka lakukan. Ini adalah kemajuan besar dalam pengembangan komunikasi awal.

Musik Tidak Menyembuhkan, Tapi Membantu Anak

Penting untuk diluruskan musik tidak menyembuhkan autisme. Autisme adalah kondisi neurologis yang memengaruhi cara seseorang berinteraksi, berkomunikasi, dan memahami dunia. Tapi di sisi lain, musik dapat membantu anak tumbuh lebih optimal dalam keterampilan sosial, emosional, dan kognitif.

Dalam terapi, musik bisa menjadi :

  • Alat regulasi emosi, Musik yang menenangkan bisa membantu anak meredakan kecemasan, menenangkan diri saat meluap emosi, atau mengatasi tantrum.
  • Stimulasi kognitif, Aktivitas seperti menyanyikan lagu, mengingat lirik, atau memainkan alat musik membantu perkembangan memori, fokus, dan koordinasi motorik.
  • Katalisator interaksi sosial, Dalam sesi kelompok, musik dapat membantu anak belajar menunggu giliran, berbagi alat musik, atau menirukan gerakan bersama teman.
  • Sarana ekspresi diri, Anak bisa menyampaikan perasaan marah, senang, takut, atau sedih lewat lagu atau gerakan, tanpa harus menjelaskan dengan kata-kata.

Meskipun tidak menyembuhkan, musik membuka pintu-pintu baru dalam proses belajar dan beradaptasi. Setiap anak memiliki cara unik untuk belajar dan berkembang, dan musik memberi ruang untuk itu ruang yang fleksibel, penuh empati, dan menyenangkan.

Referensi

Dand, D., Nithyashree, V. C., & Chayadevi, M. L. (2019). Music therapy for stress control and autism. 2019 1st International Conference on Advances in Information Technology, 516–521. IEEE.

Categories
Artikel ASD

Membekali Anak Autis di Dunia Kerja

Saat anak mulai tumbuh remaja, banyak orang tua mulai memikirkan hal seperti “Bagaimana nanti kalau anakku harus bekerja? Bisa nggak, ya?” Pertanyaan ini sering muncul, terutama bagi orang tua yang mendampingi anak dengan spektrum autisme (ASD). Wajar jika ada rasa khawatir, tapi dengan persiapan yang tepat, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan siap menghadapi dunia kerja sesuai dengan kemampuannya.

Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Memulai Menyiapkan Anak Autis untuk Dunia Kerja

  1. Kenali Potensi dan Minat Anak

Langkah pertama adalah memahami apa yang anak sukai dan mampu lakukan. Mungkin ia tertarik dengan komputer, menyusun barang, menggambar, atau pekerjaan berulang yang membuatnya nyaman. Dengan mengetahui potensi ini, kita bisa arahkan ke pekerjaan yang sesuai.

  1. Belajar Lewat Pengalaman Nyata

Anak autis sering belajar paling baik dengan cara melakukannya langsung. Maka, kegiatan seperti ikut volunteer, magang, atau sekadar bantu-bantu di rumah bisa jadi latihan awal mengenal dunia kerja. Jangan lupa, pekerjaan kecil tetap berarti besar untuk mereka.

  1. Latihan Keterampilan Hidup

Dunia kerja bukan cuma soal keahlian teknis, tapi juga kemampuan sosial, komunikasi, manajemen waktu, dan disiplin. Hal-hal sederhana seperti datang tepat waktu, menyelesaikan tugas, atau menyampaikan pendapat perlu diajarkan sejak dini dan dilatih terus-menerus.

  1. Bangun Jaringan Dukungan

Orang tua tidak harus menjalani semua ini sendirian. Cari informasi soal program pelatihan kerja untuk disabilitas, hubungi lembaga sosial, atau bergabung di komunitas. Dukungan dari sekolah, terapis, dan organisasi bisa bantu kita mengenalkan anak pada peluang kerja yang nyata.

Hambatan yang Perlu Diwaspadai dalam Menyiapkan Anak Autis untuk Dunia Kerja

Meski semangat sudah besar, ada beberapa tantangan yang biasanya dihadapi adalah :

  • Kurangnya program transisi setelah anak lulus sekolah
  • Minimnya informasi tentang lembaga penyalur kerja bagi disabilitas
  • Ketidakpastian soal masa depan yang bikin anak cemas
  • Mental health issues seperti kecemasan atau depresi
  • Lingkungan kerja yang belum inklusif

Harus Mulai dari Mana?

Memulai langkah pertama sering kali terasa membingungkan. Tapi orang tua tidak perlu menunggu semuanya “siap” untuk mulai. Justru dari proses kecil sehari-hari, anak bisa pelan-pelan belajar dan berkembang.

  1. Bangun Rutinitas Harian

Biasakan anak dengan rutinitas yang terstruktur, misalnya bangun pagi, mandi, makan tepat waktu, hingga menyelesaikan tugas tertentu. Dunia kerja penuh dengan jadwal dan tanggung jawab maka latihan ini bisa jadi fondasi awal yang sangat penting.

  1. Ajarkan Tanggung Jawab Lewat Kegiatan Rumah

Pekerjaan di rumah seperti menyapu, menata meja makan, atau merapikan tempat tidur bisa jadi latihan kerja yang sederhana tapi bermakna. Mulailah dengan tugas ringan, lalu beri apresiasi saat anak menyelesaikannya.

  1. Libatkan Anak dalam Kegiatan Sosial

Ajak anak terlibat dalam kegiatan komunitas, kegiatan keagamaan, atau kegiatan relawan sederhana. Hal ini bisa melatih kemampuan bersosialisasi dan mengenal lingkungan baru dua hal penting saat nanti bekerja.

  1. Kenalkan Dunia Kerja secara Visual dan Konkret

Anak dengan autisme cenderung lebih mudah memahami hal-hal yang visual. Bisa dimulai dengan melihat video tentang pekerjaan, mengunjungi tempat kerja, atau memperkenalkan profesi lewat cerita sehari-hari.

  1. Latih Kemampuan Komunikasi dan Emosi

Latih anak menyapa orang lain, mengungkapkan perasaan, atau meminta bantuan saat butuh. Kemampuan ini sangat penting untuk membangun hubungan kerja yang sehat nantinya.

  1. Cari Program atau Pelatihan Khusus

Beberapa lembaga menyediakan pelatihan keterampilan kerja untuk anak berkebutuhan khusus. Program ini biasanya mencakup pelatihan teknis dan pendampingan saat mulai bekerja. Jangan ragu mencari informasi dan menjajaki peluang ini.

Referensi

Griffiths, A.-J., Giannantonio, C. M., Hurley-Hanson, A. E., & Cardinal, D. N. (2016). Autism in the workplace: Assessing the transition needs of young adults with Autism Spectrum Disorder. Journal of Business and Management, 22(1), 5–21.

Categories
Artikel ASD

Cara Baru Bantu Guru Anak Autisme Terhindar dari Burnout

Mengajar anak-anak dengan autisme bukan hal yang mudah. Selain harus memahami kebutuhan belajar yang sangat spesifik, guru juga dihadapkan dengan berbagai tantangan emosional dan teknis setiap hari. Mulai dari perilaku yang sulit diprediksi, materi yang harus disesuaikan, sampai tuntutan dari sekolah dan orang tua semuanya bisa menumpuk menjadi stres.

Apa Itu Burnout dan Mengapa Penting untuk Dicegah?

Burnout adalah kondisi kelelahan ekstrem yang muncul akibat stres berkepanjangan, terutama dari tekanan kerja yang terus-menerus. Bukan cuma soal capek biasa atau lelah setelah seharian bekerja, burnout adalah kondisi psikologis yang lebih dalam dan bisa berdampak pada emosi, pola pikir, perilaku, bahkan kesehatan fisik. Burnout sering kali muncul secara perlahan. Awalnya mungkin hanya merasa cepat lelah atau sedikit frustasi. Tapi jika dibiarkan, perasaan itu bisa berkembang menjadi masalah serius yang memengaruhi kualitas hidup dan produktivitas seseorang.

Dalam dunia pendidikan, khususnya bagi guru anak-anak dengan autisme, burnout bisa sangat rentan terjadi karena tuntutan emosional yang tinggi, beban kerja yang kompleks, dan sering kali, minimnya dukungan yang memadai.

Kenapa Harus Dicegah?

  1. Dampak pada Kesehatan Mental dan Fisik
    Jika dibiarkan, burnout bisa berkembang menjadi gangguan kecemasan, depresi, atau gangguan psikosomatis (masalah fisik yang dipicu kondisi mental).
  2. Menurunkan Kualitas Pengajaran
    Guru yang burnout cenderung kurang sabar, kurang fokus, dan tidak bisa memberikan dukungan optimal pada murid terutama murid dengan kebutuhan khusus seperti autisme.
  3. Hubungan Guru-Murid Memburuk
    Emosi guru yang tidak stabil bisa memicu reaksi negatif dari anak-anak, terutama yang sensitif terhadap perubahan suasana hati.
  4. Meningkatkan Risiko Turnover
    Banyak guru akhirnya memilih keluar dari profesinya karena merasa tidak mampu lagi menghadapi tekanan.

Solusi yang Terbukti yaitu Pelatihan Emotif Rasional untuk Guru

Untuk menjawab tantangan ini, sebuah pendekatan baru mulai diperkenalkan yaitu Pelatihan Kesehatan Kerja Emotif Rasional. Program ini dirancang khusus untuk membantu guru mengelola tekanan kerja melalui perubahan cara berpikir. Pelatihan Emotif Rasional untuk guru yang secara lengkap dikenal sebagai Rational Emotive Occupational Health Coaching (REOHC) adalah pendekatan yang dikembangkan dari Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), sebuah model terapi psikologis yang awalnya diperkenalkan oleh Albert Ellis, seorang psikolog Amerika, pada tahun 1950-an.

Namun, pengembangan REOHC secara spesifik sebagai pelatihan untuk mengatasi burnout pada guru, terutama guru yang mengajar anak-anak dengan autisme, dilakukan oleh para peneliti dan akademisi dari University of Nigeria, Nsukka. Salah satu tokoh utamanya adalah Christopher N. Ngwu, bersama tim lintas disiplin dari bidang pendidikan, psikologi, dan kesehatan kerja.

Bagaimana Pelatihan Ini Dilakukan?

Pelatihan dilakukan selama 12 minggu, dengan sesi berdurasi sekitar 2 jam setiap minggu. Dalam setiap pertemuan, guru belajar teknik-teknik seperti:

  • Mengidentifikasi pemicu stres dari situasi kelas
  • Menyusun ulang pola pikir negatif
  • Melatih keterampilan menghadapi konflik
  • Mengembangkan teknik relaksasi dan penyelesaian masalah
  • Membangun pola pikir positif dan kepercayaan diri

Semua sesi dilakukan dalam suasana yang suportif, interaktif, dan disesuaikan dengan pengalaman nyata para guru di kelas.

Kesejahteraan guru adalah fondasi dari pendidikan yang baik. Guru yang sehat secara mental akan membawa dampak positif pada anak didiknya. Maka dari itu, mendukung guru bukan hanya tanggung jawab sekolah atau pemerintah, tapi juga seluruh ekosistem pendidikan—termasuk komunitas orang tua dan masyarakat.

Referensi

Uzodinma, U. E., Onyishi, C. N., Ngwoke, A. N., Ugwu, J. I., Okorie, C. O., Amujiri, B. A., Ani, C. K. C., Ngwu, C. N., Nwankwo, F. M., Okoli, C. N., Eze, H. O., Orabueze, F. O., Ogbu, E. O., Okoro, K. N., Solomon, K. C., Okeke, I. J., Nwamuo, B. E., Ani, U., Moguluwa, S. C., & Akanaeme, I. N. (2022). Effectiveness of rational emotive occupational health coaching in reducing burnout symptoms among teachers of children with autism. Science Progress, 105(2), 1–23.

Categories
Artikel ASD

Cara Orang Tua Menghadapi Tantangan Kecemasan Anak Autisme

Menghadapi perilaku menantang dan kecemasan anak autisme  memang bukan hal yang mudah. Namun, dengan pemahaman dan strategi yang tepat, banyak orang tua berhasil melewati hari-hari sulit dengan tenang dan penuh makna.

Apa itu kecemasan pada anak autis?

Anak-anak dengan autism memang lebih rentan mengalami keadaan darurat. Tapi bentuknya bisa berbeda dari anak-anak lain. Kadang bukan berupa menangis atau mengatakan “aku takut”, tapi justru muncul dalam bentuk tantrum, marah, menolak aktivitas, atau perilaku yang terlihat “menghindar”.

Misalnya, saat ada perubahan mendadak dalam rutinitas, suara bising, atau berada di tempat baru yang tidak familiar, anak bisa merasa sangat tertekan. Mereka bisa mengalami ledakan emosi karena tidak tahu cara mengungkapkan perasaan cemasnya. Bahkan, hal-hal kecil yang bagi kita tampak sepele, bisa sangat menegangkan buat mereka.

Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mengenali tanda-tanda kecemasan ini dan membantu anak mengelolanya dengan tepat.

Cara-cara yang bisa membantu orang tua Menghadapi Kecemasan Anak Autisme

Berikut adalah cara-cara yang bisa membantu orang tua dalam mendampingi anak menghadapi kecemasannya :

  1. Ikuti Ritme Anak

Setiap anak punya kebutuhan dan batasnya sendiri. Anak mungkin tidak nyaman saat buru-buru, atau butuh waktu lebih lama untuk transisi dari satu kegiatan ke kegiatan lain. Daripada memaksa, cobalah beri waktu tambahan. Misalnya, jika anak butuh 15 menit untuk berpindah dari bermain ke makan, beri sinyal lebih awal. Ini akan membantu anak lebih siap dan mengurangi ledakan emosi karena merasa ditekan.

  1. Buat rutinitas yang konsisten

Anak dengan autisme cenderung merasa lebih tenang jika mereka tahu apa yang akan terjadi. Jadwal yang teratur bisa mengurangi ketidakpastian yang memicu kecemasan.
Coba buat jadwal visual harian yang mudah dipahami anak, misalnya dengan gambar atau simbol. Jika ada perubahan, sampaikan jauh-jauh hari dengan penjelasan yang sederhana.

  1. Ciptakan Lingkungan yang nyaman

Anak autisme sangat sensitif terhadap rangsangan sensorik suara keras, cahaya terang, keramaian. Ini bisa bikin mereka kewalahan. Ciptakan sudut khusus di rumah sebagai zona tenang yang bisa mereka akses kapan pun saat merasa tidak nyaman. Hindari juga lingkungan yang terlalu ramai saat pergi keluar, atau bawa alat bantu seperti headphone penutup suara.

  1. Gunakan bahasa dan visual yang sederhana

Banyak konflik terjadi karena anak tidak paham apa yang diminta. Gunakan kalimat pendek, jelas, dan jika perlu, bantu dengan gambar. Misalnya, saat ingin mengajak anak mandi, tunjukkan gambar aktivitas mandi atau ajak anak ke kamar mandi sambil menunjukkan perlengkapannya. Ini membantu anak memproses instruksi tanpa merasa tertekan.

  1. Pahami, bukan lawan

Saat anak menolak atau tantrum, ingat bahwa bisa jadi itu reaksi dari rasa cemas yang tidak bisa mereka ungkapkan. Daripada langsung memarahi, coba dekati dengan lembut. Tawarkan pelukan, ajak bicara dengan tenang, atau izinkan anak menyendiri dulu. Tunjukkan bahwa kamu hadir sebagai tempat aman, bukan ancaman.

Tidak semua strategi cocok untuk semua anak. Tapi dengan mencoba, mengamati, dan terus belajar, orang tua bisa menemukan pola yang paling pas. Dan yang terpenting, anak merasa dipahami dan didukung. Dengan pendekatan yang hangat dan penuh empati, orang tua bisa jadi pemandu terbaik bagi anak dalam menghadapi dunia yang kadang terasa bising dan membingungkan. Terus semangat, karena setiap langkah kecilmu adalah bentuk cinta yang luar biasa

Referensi

Clark, M., & Adams, D. (2020). Perspektif orang tua tentang apa yang membantu dan menghalangi anak mereka dalam spektrum autisme untuk mengelola kecemasan mereka. Psikolog Klinis , 24 (3), 315–328.

O’Nions, E., Happé, F., Evers, K., Boonen, H., & Noens, I. (2018). Bagaimana orang tua mengatasi sifat mudah tersinggung, perilaku menantang, ketidakpatuhan, dan kecemasan pada anak-anak dengan gangguan spektrum autisme? Sebuah metasintesis. Jurnal Autisme dan Gangguan Perkembangan , 48 , 1272–1286.

 

Categories
Artikel ASD

Tantangan dan Dukungan bagi Ibu dengan Anak ASD

Menjadi ibu dengan anak ASD di Indonesia adalah perjalanan yang penuh tantangan.Dari mendapatkan diagnosis yang tepat, mencari terapi yang sesuai, hingga memastikan pendidikan inklusif bagi anak, ibu sering kali harus berjuang sendiri dalam menghadapi berbagai tantangan. Kurangnya informasi, stigma sosial, serta keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan menjadi beberapa kendala utama yang dihadapi para ibu di Indonesia.

Tantangan yang Dihadapi Ibu dengan Anak ASD di Indonesia

Salah satu kendala terbesar bagi ibu di Indonesia adalah sulitnya mendapatkan diagnosis ASD secara dini. Banyak ibu yang menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan perkembangan anak mereka, tetapi mereka kesulitan mendapatkan informasi yang akurat. Beberapa tenaga medis juga masih kurang memahami spektrum autisme, sehingga diagnosis sering kali tertunda. Padahal, diagnosis dini sangat penting agar intervensi yang tepat dapat segera diberikan.

Akses terhadap terapi juga masih terbatas.Terapi wicara, okupasi, serta Applied Behavior Analysis (ABA) yang terbukti efektif dalam membantu anak dengan ASD sering kali hanya tersedia di kota-kota besar dan dengan biaya yang cukup mahal.Hal ini menjadi tantangan bagi ibu, terutama mereka yang tinggal di daerah dengan fasilitas kesehatan terbatas atau memiliki keterbatasan finansial.

Dari sisi pendidikan, meskipun pemerintah telah menggalakkan sekolah inklusif, kenyataannya masih banyak sekolah yang belum siap menerima anak dengan ASD. Beberapa sekolah menolak anak dengan kebutuhan khusus karena keterbatasan tenaga pendidik dan fasilitas.Akibatnya, banyak ibu yang harus mencari alternatif lain, seperti homeschooling atau terapi khusus di luar sekolah, yang tentu membutuhkan waktu dan biaya tambahan.

Stigma sosial juga menjadi tantangan besar bagi ibu di Indonesia. Masih banyak masyarakat yang kurang memahami ASD, sehingga anak autis sering kali dianggap “nakal” atau “tidak terdidik dengan baik.” Hal ini menyebabkan ibu merasa dihakimi dan kurang mendapat dukungan dari lingkungan sekitar. Bahkan, dalam beberapa kasus, anggota keluarga sendiri bisa memberikan tekanan emosional kepada ibu dengan menyalahkan mereka atas kondisi anak.

Pentingnya Dukungan Sosial

Dukungan sosial memainkan peran penting dalam membantu ibu menghadapi tantangan yang ada.Di Indonesia, komunitas orang tua anak dengan ASD mulai bermunculan, baik secara langsung maupun melalui platform digital seperti media sosial dan WhatsApp.Kelompok ini menjadi tempat berbagi pengalaman, mendapatkan informasi tentang terapi, sekolah, serta berbagai tips dalam mengasuh anak dengan ASD.

Selain komunitas, peran pasangan dan keluarga juga sangat berpengaruh. Suami yang terlibat aktif dalam mengasuh anak dapat mengurangi beban ibu secara emosional dan finansial.Pemerintah juga memiliki peran penting dalam meningkatkan akses terhadap terapi dan pendidikan inklusif, misalnya dengan memberikan subsidi terapi atau pelatihan bagi guru untuk menangani anak dengan ASD di sekolah umum.

Menjadi ibu dari anak penderita ASD di Indonesia membutuhkan ketahanan mental yang kuat serta akses terhadap informasi dan layanan yang memadai.Dukungan dari keluarga, komunitas, dan pemerintah dapat membantu ibu lebih percaya diri dalam mengasuh anak mereka.Selain itu, peningkatan kesadaran masyarakat tentang ASD dapat mengurangi stigma dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus serta keluarganya.

Referensi

Lamba, N., Van Tonder, A., Shrivastava, A., & Raghavan, A. (2022). Menjelajahi tantangan dan struktur dukungan ibu dengan anak-anak dengan Gangguan Spektrum Autisme di Uni Emirat Arab. Penelitian tentang Disabilitas Perkembangan, 120 , 104138.

Categories
Artikel ASD

Mengenal Stimming pada Autisme

Banyak orang tua mungkin pernah melihat anak mereka menggoyangkan tangan, membungkus tubuh, atau mengulang suara tertentu tanpa alasan yang jelas. Perilaku ini disebut stimming, yaitu gerakan atau kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang untuk mengatasi berbagai rangsangan sensorik dan emosional. Stimming umum terjadi pada individu dengan autisme, namun masih sering disalahpahami sebagai perilaku yang perlu dihentikan.

Apa Itu Stimming pada Autisme?

Stimming adalah kependekan dari self-stimulatory behavior atau stimulasi perilaku diri. Bentuknya beragam, seperti menggoyangkan tangan atau kaki, melingkari tubuh ke depan dan belakang, mengulang kata atau suara tertentu, memperlihatkan cahaya atau benda berputar dan memainkan rambut atau menggigit kuku.

Penelitian menunjukkan bahwa stimulasi bukan sekedar kebiasaan tanpa arti, tetapi merupakan cara individu dengan autisme untuk mengelola emosi, mengurangi stres, atau menenangkan diri saat mengalami kelebihan rangsangan sensorik.

Mengapa Stimming pada Autisme Penting?

Sebagian besar penelitian memandang stimulasi sebagai perilaku negatif yang perlu dikurangi. Namun, studi terbaru menyoroti manfaat stimming dalam membantu individu penderita autisme mengatur dirinya sendiri. Beberapa manfaat stimming antara lain:

  • Mengurangi kecemasan, Stimming dapat membantu anak mengatasi lingkungan yang penuh dengan suara atau cahaya yang berlebihan.
  • Meningkatkan konsentrasi, Beberapa orang autis menggunakan stimming untuk fokus saat merasa terganggu oleh stimulus eksternal.
  • Menyalurkan emosi, Stimming juga bisa menjadi ekspresi kebahagiaan atau kegembiraan, bukan hanya respon terhadap stres.

Haruskah Stimming Dihentikan?

Banyak orang tua dan guru khawatir bahwa stimulasi dapat menghambat anak dalam berinteraksi dengan orang lain atau beradaptasi di lingkungan sosial. Namun, penelitian menunjukkan bahwa menekan stimming justru dapat berdampak negatif , seperti meningkatkan kecemasan dan stres pada individu autis.

Alih-alih melarang stimming, ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua:

  • Pahami pemicunya,  Jika stimming terjadi karena kelebihan rangsangan sensorik, cobalah faktor yang mengurangi pemicu seperti suara bising atau cahaya terang.
  • Cari alternatif yang aman, Jika stimming berisiko membahayakan, seperti menggigit tangan atau menjambak rambut, bantu anak menemukan bentuk stimming lain yang lebih aman, seperti meremas bola stres atau memainkan fidget spinner.
  • Berikan lingkungan yang mendukung, Biarkan anak merasa aman untuk mengekspresikan diri tanpa rasa takut dihakimi.

Stimming adalah bagian alami dari kehidupan banyak individu autis dan memiliki manfaat dalam membantu mereka mengatur emosi dan sensorik. Sebagai orang tua, penting untuk memahami bahwa stimulasi bukanlah perilaku buruk, tetapi cara anak merasa nyaman di lingkungannya. Dengan menerima dan mendukung kebutuhan mereka, kami dapat membantu anak autis berkembang dengan bahagia dan percaya diri.

Referensi

Charlton, R. A., Entecott, T., Belova, E., & Nwaordu, G. (2021). “It feels like holding back something you need to say”: Autistic and non-autistic adults’ accounts of sensory experiences and stimming. Research in Autism Spectrum Disorders, 89, 101864.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Meltdown pada Anak dengan Autisme

Jika Anda memiliki anak dengan autisme, mungkin Anda pernah mengalami situasi di mana anak tiba-tiba menangis, berteriak, atau bahkan menyakiti diri sendiri tanpa alasan yang jelas. Ini bukan sekadar tantrum biasa, tetapi disebut meltdown. Berbeda dengan tantrum yang biasanya terjadi karena anak ingin sesuatu, meltdown terjadi saat anak merasa kewalahan dengan lingkungan atau emosinya sendiri. Sebagai orang tua, menghadapi meltdown pada anak dengan autisme bisa menjadi tantangan besar. Namun, dengan memahami penyebab dan cara mengatasinya, Anda bisa membantu anak mengelola emosinya dengan lebih baik.

Apa Penyebab Meltdown?

Berdasarkan penelitian, ada beberapa hal yang bisa memicu meltdown pada anak dengan autisme:

  1. Stimulasi berlebih, Anak merasa terlalu banyak menerima rangsangan, misalnya suara yang terlalu keras, lampu yang terlalu terang, atau keramaian.
  2. Perubahan rutinitas, Anak dengan autisme sangat bergantung pada rutinitas. Perubahan kecil seperti rute perjalanan yang berbeda atau jadwal yang berubah bisa membuat mereka merasa tidak nyaman.
  3. Kesulitan berkomunikasi, Jika anak kesulitan mengungkapkan keinginannya, mereka bisa menjadi frustrasi dan akhirnya mengalami meltdown.
  4. Kelelahan atau lapar, Anak yang lelah atau lapar lebih rentan mengalami meltdown karena mereka kesulitan mengontrol emosinya.

Tantangan yang Dihadapi Orang Tua

Saat anak mengalami meltdown, orang tua sering menghadapi tantangan dalam tiga aspek utama:

  1. Tantangan fisik, Beberapa anak bisa bersikap agresif, seperti membanting benda atau melukai diri sendiri. Orang tua perlu sigap untuk memastikan keselamatan anak dan orang di sekitarnya.
  2. Tantangan mental, Merasa tidak tahu harus berbuat apa atau merasa gagal sebagai orang tua adalah hal yang umum dirasakan.
  3. Tantangan emosional, Stigma dari masyarakat sering kali membuat orang tua merasa malu atau tertekan ketika anak mengalami meltdown di tempat umum.

Bagaimana Cara Mengatasi Meltdown pada anak autisme?

Ada beberapa cara yang bisa Anda lakukan untuk membantu anak melewati meltdown dengan lebih tenang:

  1. Kenali Tanda-Tanda Awal, Biasanya sebelum meltdown, anak menunjukkan tanda-tanda seperti gelisah, menutup telinga, atau menghindari kontak mata. Jika Anda mulai melihat tanda ini, coba alihkan perhatian anak ke sesuatu yang menenangkannya, seperti mainan favorit atau mendengarkan musik yang disukai.
  2. Beri Tempat yang Aman, Jika memungkinkan, bawa anak ke tempat yang lebih tenang agar ia tidak semakin panik. Ruangan yang redup dan sepi bisa membantu anak lebih cepat tenang.
  3. Tetap Tenang, Anak bisa merasakan emosi orang tuanya. Jika Anda panik, anak mungkin akan semakin stres. Tarik napas dalam, tetap tenang, dan berikan pelukan lembut jika anak menyukainya.
  4. Jangan Memaksa Anak Berkomunikasi, Saat meltdown, anak mungkin tidak bisa berbicara atau menjelaskan apa yang terjadi. Alih-alih memaksa mereka bicara, coba berikan kata-kata yang menenangkan.
  5. Gunakan Strategi Preventif
  • Rutinitas yang Konsisten – Usahakan menjaga jadwal anak agar mereka merasa lebih aman dan nyaman.
  • Latih Kemampuan Komunikasi – Gunakan kartu gambar atau bahasa isyarat sederhana agar anak lebih mudah menyampaikan kebutuhannya.
  • Berikan Istirahat yang Cukup – Anak yang cukup tidur dan makan teratur lebih jarang mengalami meltdown.

Referensi

Yalim, T., & Mohamed, S. (2023). Meltdown in Autism: Challenges and Support Needed for Parents of Children with Autism. International Journal of Academic Research in Progressive Education and Development, 12(1), 850–876.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Pentingnya Memahami Ekspresi Wajah Anak Autism

Ekspresi wajah merupakan salah satu bentuk komunikasi nonverbal yang digunakan manusia untuk menyampaikan emosi dan perasaan. Namun, bagi anak ASD, ekspresi wajah bisa menjadi sesuatu yang sulit dipahami, baik dalam menampilkan emosi mereka sendiri maupun dalam menginterpretasi ekspresi orang lain. Oleh karena itu, memahami ekspresi wajah anak dengan autism menjadi hal yang penting bagi orang tua, pendidik, dan lingkungan sekitarnya.

Mengapa Anak dengan Autism Kesulitan dalam Ekspresi Wajah?

Anak dengan autism sering mengalami kesulitan dalam menghubungkan ekspresi wajah dengan emosi tertentu. Beberapa alasan utama di balik tantangan ini meliputi:

Kesulitan dalam Mengenali Ekspresi Orang Lain

Anak dengan autism mungkin tidak secara otomatis mengenali perbedaan antara ekspresi wajah bahagia, sedih, marah, atau takut. Mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami makna dari ekspresi tersebut.

Ekspresi yang Kurang Terlihat Jelas

Beberapa anak dengan autism menunjukkan ekspresi wajah yang datar atau minim, meskipun mereka sebenarnya merasakan emosi tertentu. Hal ini dapat membuat orang tua atau pengasuh sulit memahami perasaan mereka.

Tantangan dalam Interaksi Sosial

Kesulitan dalam membaca ekspresi wajah sering kali membuat anak dengan autism mengalami kendala dalam interaksi sosial. Mereka mungkin tidak menyadari kapan seseorang sedang marah atau sedih, sehingga respons yang diberikan tidak sesuai dengan situasi.

Mengapa Penting Memahami Ekspresi Wajah Anak dengan Autism?

Meningkatkan Komunikasi

Dengan memahami ekspresi wajah anak, orang tua dan pendidik dapat lebih mudah menangkap perasaan mereka meskipun anak tidak mengungkapkannya secara verbal. Ini akan membantu dalam memberikan respons yang lebih tepat terhadap kebutuhan mereka.

Membantu Anak Menyampaikan Emosi

Beberapa anak dengan autism mungkin kesulitan mengungkapkan perasaan dengan kata-kata. Dengan memperhatikan ekspresi wajah mereka, orang tua dan guru dapat membantu mereka mengembangkan cara lain untuk menyampaikan perasaan mereka, seperti melalui gambar atau bahasa tubuh.

Mendukung Perkembangan Sosial

Memahami ekspresi anak dengan autism membantu lingkungan sekitar dalam membangun hubungan yang lebih baik dengan mereka. Ini juga dapat membantu anak dalam memahami bagaimana berinteraksi dengan orang lain secara lebih efektif.

Cara Membantu Anak dengan Autism 

Gunakan Gambar atau Kartu Emosi

Menggunakan kartu yang menunjukkan berbagai ekspresi wajah dapat membantu anak menghubungkan ekspresi dengan emosi tertentu.

Latihan dengan Cermin

Mengajak anak melihat ekspresi wajah mereka sendiri di cermin sambil mengenali emosi yang sedang dirasakan bisa menjadi cara efektif untuk meningkatkan kesadaran diri mereka.

Gunakan Teknologi dan Aplikasi Interaktif

Saat ini, banyak aplikasi yang dirancang untuk membantu anak dengan autism mengenali ekspresi dan memahami emosi melalui gambar atau video interaktif.

Berikan Dukungan dalam Interaksi Sehari-hari

Orang tua dan pendidik dapat membantu dengan menunjukkan ekspresi wajah mereka secara lebih jelas dan memberikan penjelasan singkat mengenai perasaan yang sedang dirasakan.

Memahami wajah anak dengan autism adalah langkah penting dalam mendukung perkembangan komunikasi dan interaksi sosial mereka. Dengan memberikan perhatian lebih terhadap cara anak mengekspresikan emosi, serta membantu mereka mengenali ekspresi wajah orang lain, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif bagi mereka. Dukungan yang konsisten dan metode yang tepat akan sangat membantu anak dengan autism dalam mengembangkan keterampilan sosial yang lebih baik di masa depan.

Buka WhatsApp
Klik Untuk Ke Wa
Halo! Apa yang bisa saya bantu