Malang Autism Center

Categories
Artikel ASD

Terapi Okupasi dalam Mengatasi Selektivitas Makanan pada Anak

Selektivitas makanan atau picky eating merupakan kondisi yang umum dialami oleh anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD). Anak dengan selektivitas makanan cenderung hanya mau mengonsumsi makanan tertentu dan menolak mencoba makanan baru. Hal ini dapat disebabkan oleh sensitivitas sensorik terhadap tekstur, aroma, atau rasa makanan tertentu, serta kebutuhan akan rutinitas yang tetap.

Ketidakvariasian makanan yang dikonsumsi dapat berdampak pada asupan gizi anak. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat untuk membantu anak agar lebih nyaman saat makan dan mau mencoba makanan yang lebih beragam. Salah satu pendekatan yang terbukti efektif adalah terapi okupasi.

Mengapa Anak dengan ASD Mengalami Selektivitas Makanan?

Anak dengan ASD sering memiliki permasalahan sensorik yang memengaruhi pola makan mereka, seperti:

  • Sensitivitas terhadap tekstur makanan (misalnya, tidak menyukai makanan yang terlalu lembut atau terlalu renyah).
  • Reaksi negatif terhadap bau atau rasa makanan tertentu.
  • Kecenderungan untuk mempertahankan rutinitas, sehingga enggan mencoba makanan baru.

Hal ini membuat anak hanya ingin mengonsumsi makanan tertentu yang sudah dikenalnya, yang dapat berpengaruh terhadap keseimbangan gizi dan kesehatan secara keseluruhan.

Bagaimana Terapi Okupasi Membantu?

Terapi okupasi berperan dalam membantu anak ASD mengatasi selektivitas makanan dengan cara membuat mereka lebih nyaman dan terbuka terhadap pengalaman makan yang baru. Beberapa metode yang digunakan dalam terapi okupasi antara lain:

  1. Stimulasi Sensorik dan Pendekatan Bertahap

Terapi okupasi sering kali melibatkan stimulasi sensorik untuk membantu anak beradaptasi dengan berbagai tekstur dan rasa makanan. Pendekatan ini dapat mencakup:

  • Aktivitas sensorik sebelum makan, seperti bermain dengan benda bertekstur untuk membantu anak terbiasa dengan sensasi berbeda.
  • Pengenalan makanan secara bertahap, dimulai dari melihat, menyentuh, mencium, hingga mencicipi makanan baru tanpa paksaan.
  1. Melibatkan Orang Tua dalam Proses Makan

Keterlibatan orang tua sangat penting dalam menangani selektivitas makanan pada anak ASD. Terapis okupasi dapat membantu dengan:

  • Memberikan pelatihan kepada orang tua mengenai strategi menciptakan lingkungan makan yang nyaman dan tanpa tekanan.
  • Menggunakan metode coaching, di mana orang tua mendapatkan panduan dan umpan balik mengenai cara menangani kebiasaan makan anak secara efektif.
  1. Strategi Kombinasi Makanan

Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah mengombinasikan makanan yang sudah disukai dengan makanan baru. Contohnya, jika anak menyukai ayam goreng, orang tua dapat perlahan menambahkan sayuran dalam porsi kecil sebagai pendampingnya. Dengan cara ini, anak secara bertahap dapat menerima variasi makanan yang lebih luas.

Manfaat Terapi Okupasi dalam Mengatasi Selektivitas Makanan

Terapi okupasi memberikan berbagai manfaat bagi anak dengan ASD, terutama dalam membantu mereka merasa lebih nyaman dan tidak tertekan saat makan. Dengan pendekatan yang tepat, terapi ini juga dapat meningkatkan keberanian anak untuk mencoba makanan baru serta mengurangi perilaku makan yang menantang atau reaksi penolakan ekstrem terhadap makanan tertentu. Selain itu, terapi okupasi berperan dalam menciptakan interaksi yang lebih positif antara anak dan orang tua saat makan bersama, sehingga suasana makan menjadi lebih menyenangkan dan mendukung perkembangan kebiasaan makan yang lebih sehat.

Selektivitas makanan pada anak ASD memang dapat menjadi tantangan bagi orang tua, tetapi dengan pendekatan yang tepat dan dukungan dari terapis okupasi, anak dapat secara bertahap menerima variasi makanan yang lebih luas dan memenuhi kebutuhan gizinya dengan lebih baik. Oleh karena itu, jika anak Anda mengalami selektivitas makanan, berkonsultasilah dengan terapis okupasi untuk mendapatkan strategi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.

Referensi

Reche-Olmedo, L., Torres-Collado, L., Compañ-Gabucio, L. M., & Garcia-de-la-Hera, M. (2021). The role of occupational therapy in managing food selectivity of children with autism spectrum disorder: A scoping review. Children, 8(11), 1024.

Categories
Artikel ASD

Keterlambatan Motorik pada Anak dengan Autisme

Banyak orang tua mungkin sudah tahu bahwa anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) memiliki tantangan dalam komunikasi dan interaksi sosial. Namun, tahukah Anda bahwa sebagian besar anak dengan ASD juga mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik mereka?

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Beth Provost, Brian R. Lopez, dan Sandra Heimerl menunjukkan bahwa semua anak dengan ASD dalam studi mereka mengalami gangguan motorik, baik dalam keterampilan motorik kasar (seperti berjalan dan melompat) maupun keterampilan motorik halus (seperti memegang pensil atau mengancingkan baju).

Apa Itu Keterlambatan Motorik?

Keterlambatan motorik terjadi ketika seorang anak lebih lambat dalam mengembangkan kemampuan gerak dibandingkan anak seusianya. Ada dua jenis keterampilan motorik yang penting:

  • Motorik kasar: Kemampuan mengontrol gerakan tubuh besar, seperti berlari, melompat, atau naik tangga.
  • Motorik halus: Kemampuan menggunakan tangan dan jari untuk tugas yang lebih detail, seperti menulis, mengikat tali sepatu, atau menyusun balok kecil.

Anak dengan ASD Cenderung Mengalami Keterlambatan dalam Bergerak

Autism Spectrum Disorder (ASD) sering mengalami kesulitan dalam mengembangkan keterampilan motorik mereka. Keterlambatan ini bisa terjadi dalam gerakan besar, seperti berjalan, melompat, atau berlari, maupun dalam gerakan kecil yang membutuhkan koordinasi tangan dan jari, seperti menggambar atau mengancingkan baju.

Menariknya, keterlambatan motorik pada anak dengan ASD ternyata mirip dengan anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan lainnya. Artinya, tantangan dalam bergerak bukan hanya dialami oleh anak dengan ASD, tetapi juga oleh anak-anak dengan kondisi perkembangan yang berbeda. Namun, anak-anak yang tidak mengalami keterlambatan motorik menunjukkan kemampuan bergerak yang jauh lebih baik dibandingkan anak dengan ASD dan anak dengan keterlambatan perkembangan lainnya.

Keterlambatan ini perlu diperhatikan karena banyak aktivitas sehari-hari dan interaksi sosial anak melibatkan gerakan tubuh. Jika seorang anak mengalami kesulitan dalam bergerak, mereka mungkin akan kesulitan bermain dengan teman sebaya atau melakukan tugas sederhana seperti memakai pakaian sendiri. Oleh karena itu, orang tua perlu mengenali tanda-tanda keterlambatan motorik sejak dini. Dengan memberikan stimulasi yang sesuai, anak dapat berkembang lebih optimal.

Mengapa Keterlambatan Motorik Perlu Diperhatikan?

Banyak aktivitas anak-anak melibatkan gerakan, seperti bermain bola, berlari, atau menggambar. Jika seorang anak mengalami kesulitan dalam keterampilan motoriknya, hal ini bisa membuat mereka sulit bermain dengan teman sebaya dan belajar keterampilan lain.

Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan ASD yang mengalami keterlambatan motorik cenderung menghadapi kesulitan dalam keterampilan sosial. Selain itu, mereka juga dapat mengalami hambatan dalam komunikasi.Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memperhatikan perkembangan motorik anak sejak dini.

Keterlambatan motorik bukan tanda utama autisme, tetapi hampir semua anak dengan ASD mengalami kesulitan dalam bergerak. Gerakan tubuh berhubungan erat dengan keterampilan sosial dan kemandirian anak. Oleh karena itu, orang tua perlu memberikan perhatian khusus pada perkembangan motorik anak sejak dini.

Referensi

Provost, B., Lopez, B. R., & Heimerl, S. (2007). A comparison of motor delays in young children: Autism spectrum disorder, developmental delay, and developmental concerns. Journal of Autism and Developmental Disorders, 37(3), 321–328.

Categories
Artikel ASD

Kesalahan Berkomunikasi dengan Anak Nonverbal

Berkomunikasi dengan Anak Nonverbal membutuhkan pendekatan yang tepat agar mereka merasa dipahami dan dihargai. Anak nonverbal mungkin tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi mereka tetap memiliki cara untuk menyampaikan pikiran dan perasaan. Sayangnya, ada beberapa kesalahan saat berkomunikasi dengan anak nonverbal yang sering dilakukan saat berinteraksi dengan mereka.

Berikut adalah beberapa kesalahan umum yang harus dihindari ketika Berkomunikasi dengan Anak Nonverbal

  1. Mengabaikan Upaya Komunikasi Anak

Anak nonverbal berkomunikasi dengan berbagai cara, seperti gerakan tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, atau menggunakan alat bantu komunikasi. Salah satu kesalahan terbesar adalah tidak mengenali atau merespons upaya komunikasi mereka, yang dapat membuat anak merasa diabaikan dan frustrasi.

Solusi: Perhatikan dengan cermat setiap ekspresi dan gerakan anak, serta beri respons yang sesuai agar mereka merasa dihargai.

  1. Tidak Memberikan Waktu yang Cukup

Beberapa orang terburu-buru saat berkomunikasi dengan anak nonverbal, mengharapkan respons yang cepat. Padahal, anak mungkin butuh lebih banyak waktu untuk memproses informasi dan merespons.

Solusi: Bersabarlah dan berikan cukup waktu agar anak dapat mengekspresikan diri tanpa tekanan.

  1. Berbicara Terlalu Cepat atau Menggunakan Kalimat yang Rumit

Menggunakan kalimat panjang atau kata-kata yang sulit dipahami dapat membuat anak nonverbal kesulitan mengerti pesan yang disampaikan.

Solusi: Gunakan bahasa yang sederhana, jelas, dan singkat. Jika memungkinkan, gunakan isyarat atau alat bantu komunikasi untuk memperjelas maksud.

  1. Tidak Menggunakan Alat Bantu Komunikasi yang Sesuai

Beberapa anak nonverbal menggunakan alat bantu komunikasi seperti kartu gambar (PECS), bahasa isyarat, atau aplikasi komunikasi. Kesalahan yang sering terjadi adalah tidak menyediakan atau tidak menggunakan alat bantu ini dalam interaksi sehari-hari.

Solusi: Kenali alat komunikasi yang digunakan anak dan pastikan untuk menggunakannya secara konsisten dalam interaksi.

  1. Berasumsi bahwa Anak Tidak Mengerti

Banyak orang berpikir bahwa karena seorang anak tidak bisa berbicara, mereka juga tidak bisa memahami apa yang dikatakan. Ini adalah asumsi yang keliru dan dapat menghambat hubungan dengan anak.

Solusi: Berkomunikasilah dengan anak sebagaimana Anda berkomunikasi dengan anak lainnya. Gunakan nada suara yang hangat dan penuh perhatian.

  1. Tidak Menjaga Kontak Mata dan Ekspresi Wajah

Beberapa orang berbicara kepada anak nonverbal tanpa kontak mata atau ekspresi wajah yang mendukung, sehingga komunikasi terasa kurang hangat dan kurang menarik perhatian anak.

Solusi: Gunakan ekspresi wajah yang ramah, lakukan kontak mata dengan lembut, dan gunakan bahasa tubuh yang mendukung agar anak lebih mudah memahami pesan yang disampaikan.

  1. Menganggap Anak Tidak Bisa Berkomunikasi Sama Sekali

Sebagian orang mungkin merasa putus asa atau tidak mencoba memahami cara komunikasi anak nonverbal. Akibatnya, mereka tidak berusaha membangun interaksi yang bermakna.

Solusi: Cari tahu cara komunikasi yang nyaman bagi anak, apakah melalui gerakan, ekspresi, alat bantu, atau metode lain. Semua anak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi jika diberikan dukungan yang tepat.

Anak nonverbal tetap memiliki keinginan untuk berkomunikasi dan terhubung dengan lingkungan sekitarnya. Dengan memahami dan menghindari kesalahan-kesalahan di atas, kita dapat menciptakan lingkungan komunikasi yang lebih inklusif, penuh perhatian, dan mendukung perkembangan anak. Dengan kesabaran dan pendekatan yang tepat, setiap anak dapat merasa dihargai dan didengar, meskipun mereka tidak menggunakan kata-kata untuk berbicara.

Buka WhatsApp
Butuh Bantuan?
Halo! Apa yang bisa saya bantu