Malang Autism Center

Categories
Artikel ASD

Cara Orang Tua Menghadapi Tantangan Kecemasan Anak Autisme

Menghadapi perilaku menantang dan kecemasan anak autisme  memang bukan hal yang mudah. Namun, dengan pemahaman dan strategi yang tepat, banyak orang tua berhasil melewati hari-hari sulit dengan tenang dan penuh makna.

Apa itu kecemasan pada anak autis?

Anak-anak dengan autism memang lebih rentan mengalami keadaan darurat. Tapi bentuknya bisa berbeda dari anak-anak lain. Kadang bukan berupa menangis atau mengatakan “aku takut”, tapi justru muncul dalam bentuk tantrum, marah, menolak aktivitas, atau perilaku yang terlihat “menghindar”.

Misalnya, saat ada perubahan mendadak dalam rutinitas, suara bising, atau berada di tempat baru yang tidak familiar, anak bisa merasa sangat tertekan. Mereka bisa mengalami ledakan emosi karena tidak tahu cara mengungkapkan perasaan cemasnya. Bahkan, hal-hal kecil yang bagi kita tampak sepele, bisa sangat menegangkan buat mereka.

Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mengenali tanda-tanda kecemasan ini dan membantu anak mengelolanya dengan tepat.

Cara-cara yang bisa membantu orang tua Menghadapi Kecemasan Anak Autisme

Berikut adalah cara-cara yang bisa membantu orang tua dalam mendampingi anak menghadapi kecemasannya :

  1. Ikuti Ritme Anak

Setiap anak punya kebutuhan dan batasnya sendiri. Anak mungkin tidak nyaman saat buru-buru, atau butuh waktu lebih lama untuk transisi dari satu kegiatan ke kegiatan lain. Daripada memaksa, cobalah beri waktu tambahan. Misalnya, jika anak butuh 15 menit untuk berpindah dari bermain ke makan, beri sinyal lebih awal. Ini akan membantu anak lebih siap dan mengurangi ledakan emosi karena merasa ditekan.

  1. Buat rutinitas yang konsisten

Anak dengan autisme cenderung merasa lebih tenang jika mereka tahu apa yang akan terjadi. Jadwal yang teratur bisa mengurangi ketidakpastian yang memicu kecemasan.
Coba buat jadwal visual harian yang mudah dipahami anak, misalnya dengan gambar atau simbol. Jika ada perubahan, sampaikan jauh-jauh hari dengan penjelasan yang sederhana.

  1. Ciptakan Lingkungan yang nyaman

Anak autisme sangat sensitif terhadap rangsangan sensorik suara keras, cahaya terang, keramaian. Ini bisa bikin mereka kewalahan. Ciptakan sudut khusus di rumah sebagai zona tenang yang bisa mereka akses kapan pun saat merasa tidak nyaman. Hindari juga lingkungan yang terlalu ramai saat pergi keluar, atau bawa alat bantu seperti headphone penutup suara.

  1. Gunakan bahasa dan visual yang sederhana

Banyak konflik terjadi karena anak tidak paham apa yang diminta. Gunakan kalimat pendek, jelas, dan jika perlu, bantu dengan gambar. Misalnya, saat ingin mengajak anak mandi, tunjukkan gambar aktivitas mandi atau ajak anak ke kamar mandi sambil menunjukkan perlengkapannya. Ini membantu anak memproses instruksi tanpa merasa tertekan.

  1. Pahami, bukan lawan

Saat anak menolak atau tantrum, ingat bahwa bisa jadi itu reaksi dari rasa cemas yang tidak bisa mereka ungkapkan. Daripada langsung memarahi, coba dekati dengan lembut. Tawarkan pelukan, ajak bicara dengan tenang, atau izinkan anak menyendiri dulu. Tunjukkan bahwa kamu hadir sebagai tempat aman, bukan ancaman.

Tidak semua strategi cocok untuk semua anak. Tapi dengan mencoba, mengamati, dan terus belajar, orang tua bisa menemukan pola yang paling pas. Dan yang terpenting, anak merasa dipahami dan didukung. Dengan pendekatan yang hangat dan penuh empati, orang tua bisa jadi pemandu terbaik bagi anak dalam menghadapi dunia yang kadang terasa bising dan membingungkan. Terus semangat, karena setiap langkah kecilmu adalah bentuk cinta yang luar biasa

Referensi

Clark, M., & Adams, D. (2020). Perspektif orang tua tentang apa yang membantu dan menghalangi anak mereka dalam spektrum autisme untuk mengelola kecemasan mereka. Psikolog Klinis , 24 (3), 315–328.

O’Nions, E., Happé, F., Evers, K., Boonen, H., & Noens, I. (2018). Bagaimana orang tua mengatasi sifat mudah tersinggung, perilaku menantang, ketidakpatuhan, dan kecemasan pada anak-anak dengan gangguan spektrum autisme? Sebuah metasintesis. Jurnal Autisme dan Gangguan Perkembangan , 48 , 1272–1286.

 

Categories
Artikel ASD

Tantangan dan Dukungan bagi Ibu dengan Anak ASD

Menjadi ibu dengan anak ASD di Indonesia adalah perjalanan yang penuh tantangan.Dari mendapatkan diagnosis yang tepat, mencari terapi yang sesuai, hingga memastikan pendidikan inklusif bagi anak, ibu sering kali harus berjuang sendiri dalam menghadapi berbagai tantangan. Kurangnya informasi, stigma sosial, serta keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan menjadi beberapa kendala utama yang dihadapi para ibu di Indonesia.

Tantangan yang Dihadapi Ibu dengan Anak ASD di Indonesia

Salah satu kendala terbesar bagi ibu di Indonesia adalah sulitnya mendapatkan diagnosis ASD secara dini. Banyak ibu yang menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan perkembangan anak mereka, tetapi mereka kesulitan mendapatkan informasi yang akurat. Beberapa tenaga medis juga masih kurang memahami spektrum autisme, sehingga diagnosis sering kali tertunda. Padahal, diagnosis dini sangat penting agar intervensi yang tepat dapat segera diberikan.

Akses terhadap terapi juga masih terbatas.Terapi wicara, okupasi, serta Applied Behavior Analysis (ABA) yang terbukti efektif dalam membantu anak dengan ASD sering kali hanya tersedia di kota-kota besar dan dengan biaya yang cukup mahal.Hal ini menjadi tantangan bagi ibu, terutama mereka yang tinggal di daerah dengan fasilitas kesehatan terbatas atau memiliki keterbatasan finansial.

Dari sisi pendidikan, meskipun pemerintah telah menggalakkan sekolah inklusif, kenyataannya masih banyak sekolah yang belum siap menerima anak dengan ASD. Beberapa sekolah menolak anak dengan kebutuhan khusus karena keterbatasan tenaga pendidik dan fasilitas.Akibatnya, banyak ibu yang harus mencari alternatif lain, seperti homeschooling atau terapi khusus di luar sekolah, yang tentu membutuhkan waktu dan biaya tambahan.

Stigma sosial juga menjadi tantangan besar bagi ibu di Indonesia. Masih banyak masyarakat yang kurang memahami ASD, sehingga anak autis sering kali dianggap “nakal” atau “tidak terdidik dengan baik.” Hal ini menyebabkan ibu merasa dihakimi dan kurang mendapat dukungan dari lingkungan sekitar. Bahkan, dalam beberapa kasus, anggota keluarga sendiri bisa memberikan tekanan emosional kepada ibu dengan menyalahkan mereka atas kondisi anak.

Pentingnya Dukungan Sosial

Dukungan sosial memainkan peran penting dalam membantu ibu menghadapi tantangan yang ada.Di Indonesia, komunitas orang tua anak dengan ASD mulai bermunculan, baik secara langsung maupun melalui platform digital seperti media sosial dan WhatsApp.Kelompok ini menjadi tempat berbagi pengalaman, mendapatkan informasi tentang terapi, sekolah, serta berbagai tips dalam mengasuh anak dengan ASD.

Selain komunitas, peran pasangan dan keluarga juga sangat berpengaruh. Suami yang terlibat aktif dalam mengasuh anak dapat mengurangi beban ibu secara emosional dan finansial.Pemerintah juga memiliki peran penting dalam meningkatkan akses terhadap terapi dan pendidikan inklusif, misalnya dengan memberikan subsidi terapi atau pelatihan bagi guru untuk menangani anak dengan ASD di sekolah umum.

Menjadi ibu dari anak penderita ASD di Indonesia membutuhkan ketahanan mental yang kuat serta akses terhadap informasi dan layanan yang memadai.Dukungan dari keluarga, komunitas, dan pemerintah dapat membantu ibu lebih percaya diri dalam mengasuh anak mereka.Selain itu, peningkatan kesadaran masyarakat tentang ASD dapat mengurangi stigma dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus serta keluarganya.

Referensi

Lamba, N., Van Tonder, A., Shrivastava, A., & Raghavan, A. (2022). Menjelajahi tantangan dan struktur dukungan ibu dengan anak-anak dengan Gangguan Spektrum Autisme di Uni Emirat Arab. Penelitian tentang Disabilitas Perkembangan, 120 , 104138.

Categories
Artikel ASD

Mengenal Stimming pada Autisme

Banyak orang tua mungkin pernah melihat anak mereka menggoyangkan tangan, membungkus tubuh, atau mengulang suara tertentu tanpa alasan yang jelas. Perilaku ini disebut stimming, yaitu gerakan atau kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang untuk mengatasi berbagai rangsangan sensorik dan emosional. Stimming umum terjadi pada individu dengan autisme, namun masih sering disalahpahami sebagai perilaku yang perlu dihentikan.

Apa Itu Stimming pada Autisme?

Stimming adalah kependekan dari self-stimulatory behavior atau stimulasi perilaku diri. Bentuknya beragam, seperti menggoyangkan tangan atau kaki, melingkari tubuh ke depan dan belakang, mengulang kata atau suara tertentu, memperlihatkan cahaya atau benda berputar dan memainkan rambut atau menggigit kuku.

Penelitian menunjukkan bahwa stimulasi bukan sekedar kebiasaan tanpa arti, tetapi merupakan cara individu dengan autisme untuk mengelola emosi, mengurangi stres, atau menenangkan diri saat mengalami kelebihan rangsangan sensorik.

Mengapa Stimming pada Autisme Penting?

Sebagian besar penelitian memandang stimulasi sebagai perilaku negatif yang perlu dikurangi. Namun, studi terbaru menyoroti manfaat stimming dalam membantu individu penderita autisme mengatur dirinya sendiri. Beberapa manfaat stimming antara lain:

  • Mengurangi kecemasan, Stimming dapat membantu anak mengatasi lingkungan yang penuh dengan suara atau cahaya yang berlebihan.
  • Meningkatkan konsentrasi, Beberapa orang autis menggunakan stimming untuk fokus saat merasa terganggu oleh stimulus eksternal.
  • Menyalurkan emosi, Stimming juga bisa menjadi ekspresi kebahagiaan atau kegembiraan, bukan hanya respon terhadap stres.

Haruskah Stimming Dihentikan?

Banyak orang tua dan guru khawatir bahwa stimulasi dapat menghambat anak dalam berinteraksi dengan orang lain atau beradaptasi di lingkungan sosial. Namun, penelitian menunjukkan bahwa menekan stimming justru dapat berdampak negatif , seperti meningkatkan kecemasan dan stres pada individu autis.

Alih-alih melarang stimming, ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua:

  • Pahami pemicunya,  Jika stimming terjadi karena kelebihan rangsangan sensorik, cobalah faktor yang mengurangi pemicu seperti suara bising atau cahaya terang.
  • Cari alternatif yang aman, Jika stimming berisiko membahayakan, seperti menggigit tangan atau menjambak rambut, bantu anak menemukan bentuk stimming lain yang lebih aman, seperti meremas bola stres atau memainkan fidget spinner.
  • Berikan lingkungan yang mendukung, Biarkan anak merasa aman untuk mengekspresikan diri tanpa rasa takut dihakimi.

Stimming adalah bagian alami dari kehidupan banyak individu autis dan memiliki manfaat dalam membantu mereka mengatur emosi dan sensorik. Sebagai orang tua, penting untuk memahami bahwa stimulasi bukanlah perilaku buruk, tetapi cara anak merasa nyaman di lingkungannya. Dengan menerima dan mendukung kebutuhan mereka, kami dapat membantu anak autis berkembang dengan bahagia dan percaya diri.

Referensi

Charlton, R. A., Entecott, T., Belova, E., & Nwaordu, G. (2021). “It feels like holding back something you need to say”: Autistic and non-autistic adults’ accounts of sensory experiences and stimming. Research in Autism Spectrum Disorders, 89, 101864.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Meltdown pada Anak dengan Autisme

Jika Anda memiliki anak dengan autisme, mungkin Anda pernah mengalami situasi di mana anak tiba-tiba menangis, berteriak, atau bahkan menyakiti diri sendiri tanpa alasan yang jelas. Ini bukan sekadar tantrum biasa, tetapi disebut meltdown. Berbeda dengan tantrum yang biasanya terjadi karena anak ingin sesuatu, meltdown terjadi saat anak merasa kewalahan dengan lingkungan atau emosinya sendiri. Sebagai orang tua, menghadapi meltdown pada anak dengan autisme bisa menjadi tantangan besar. Namun, dengan memahami penyebab dan cara mengatasinya, Anda bisa membantu anak mengelola emosinya dengan lebih baik.

Apa Penyebab Meltdown?

Berdasarkan penelitian, ada beberapa hal yang bisa memicu meltdown pada anak dengan autisme:

  1. Stimulasi berlebih, Anak merasa terlalu banyak menerima rangsangan, misalnya suara yang terlalu keras, lampu yang terlalu terang, atau keramaian.
  2. Perubahan rutinitas, Anak dengan autisme sangat bergantung pada rutinitas. Perubahan kecil seperti rute perjalanan yang berbeda atau jadwal yang berubah bisa membuat mereka merasa tidak nyaman.
  3. Kesulitan berkomunikasi, Jika anak kesulitan mengungkapkan keinginannya, mereka bisa menjadi frustrasi dan akhirnya mengalami meltdown.
  4. Kelelahan atau lapar, Anak yang lelah atau lapar lebih rentan mengalami meltdown karena mereka kesulitan mengontrol emosinya.

Tantangan yang Dihadapi Orang Tua

Saat anak mengalami meltdown, orang tua sering menghadapi tantangan dalam tiga aspek utama:

  1. Tantangan fisik, Beberapa anak bisa bersikap agresif, seperti membanting benda atau melukai diri sendiri. Orang tua perlu sigap untuk memastikan keselamatan anak dan orang di sekitarnya.
  2. Tantangan mental, Merasa tidak tahu harus berbuat apa atau merasa gagal sebagai orang tua adalah hal yang umum dirasakan.
  3. Tantangan emosional, Stigma dari masyarakat sering kali membuat orang tua merasa malu atau tertekan ketika anak mengalami meltdown di tempat umum.

Bagaimana Cara Mengatasi Meltdown pada anak autisme?

Ada beberapa cara yang bisa Anda lakukan untuk membantu anak melewati meltdown dengan lebih tenang:

  1. Kenali Tanda-Tanda Awal, Biasanya sebelum meltdown, anak menunjukkan tanda-tanda seperti gelisah, menutup telinga, atau menghindari kontak mata. Jika Anda mulai melihat tanda ini, coba alihkan perhatian anak ke sesuatu yang menenangkannya, seperti mainan favorit atau mendengarkan musik yang disukai.
  2. Beri Tempat yang Aman, Jika memungkinkan, bawa anak ke tempat yang lebih tenang agar ia tidak semakin panik. Ruangan yang redup dan sepi bisa membantu anak lebih cepat tenang.
  3. Tetap Tenang, Anak bisa merasakan emosi orang tuanya. Jika Anda panik, anak mungkin akan semakin stres. Tarik napas dalam, tetap tenang, dan berikan pelukan lembut jika anak menyukainya.
  4. Jangan Memaksa Anak Berkomunikasi, Saat meltdown, anak mungkin tidak bisa berbicara atau menjelaskan apa yang terjadi. Alih-alih memaksa mereka bicara, coba berikan kata-kata yang menenangkan.
  5. Gunakan Strategi Preventif
  • Rutinitas yang Konsisten – Usahakan menjaga jadwal anak agar mereka merasa lebih aman dan nyaman.
  • Latih Kemampuan Komunikasi – Gunakan kartu gambar atau bahasa isyarat sederhana agar anak lebih mudah menyampaikan kebutuhannya.
  • Berikan Istirahat yang Cukup – Anak yang cukup tidur dan makan teratur lebih jarang mengalami meltdown.

Referensi

Yalim, T., & Mohamed, S. (2023). Meltdown in Autism: Challenges and Support Needed for Parents of Children with Autism. International Journal of Academic Research in Progressive Education and Development, 12(1), 850–876.

Buka WhatsApp
Klik Untuk Ke Wa
Halo! Apa yang bisa saya bantu