Malang Autism Center

Categories
Artikel ASD

Autisme pada Anak Perempuan Sering Terlambat Diketahui

Sebagai orang tua, tentu kita ingin memahami dan mendukung perkembangan anak sebaik mungkin. Namun, tahukah Anda bahwa autisme pada anak perempuan sering kali tidak terdeteksi sejak dini? Hal ini bukan karena gejalanya tidak ada, tetapi karena cara anak perempuan menunjukkan autisme sering berbeda dari anak laki-laki.

Autisme pada Anak Perempuan Bisa Tampak Berbeda

Ketika mendengar kata autisme, kebanyakan orang membayangkan anak yang kesulitan berkomunikasi, menghindari kontak mata, atau terlalu fokus pada satu hal tertentu. Namun, tanda-tanda ini lebih sering terlihat pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

Anak perempuan dengan autisme cenderung lebih pandai meniru perilaku teman-temannya, sehingga terlihat seperti anak biasa. Mereka mungkin bisa berbicara dengan baik, bermain dengan teman, dan mengikuti aturan di sekolah. Namun, di dalam hati, mereka sering merasa lelah karena harus berusaha keras menyesuaikan diri agar tampak seperti anak lainnya.

Mengapa Autisme pada Anak Perempuan Sering Terlambat Diketahui?

  1. Lebih Pandai Menyesuaikan Diri
    Anak perempuan biasanya lebih banyak mengamati orang lain dan mencoba meniru cara berbicara atau berperilaku. Hal ini membuat kesulitan mereka dalam bersosialisasi tidak terlihat jelas.
  2. Tidak Terlalu Aktif atau Mengganggu
    Anak laki-laki dengan autisme sering menunjukkan perilaku yang lebih mencolok, seperti hiperaktif atau sulit diatur. Sementara itu, anak perempuan dengan autisme cenderung pendiam dan mengikuti aturan, sehingga guru atau orang tua tidak melihat ada masalah.
  3. Sering Salah Didiagnosis
    Karena tidak menunjukkan tanda-tanda autisme yang jelas, anak perempuan sering didiagnosis dengan kondisi lain, seperti pemalu berlebihan, cemas, atau bahkan gangguan kepribadian.

Dampak Jika Autisme Terlambat Diketahui

Jika autisme pada anak perempuan tidak dikenali sejak dini, mereka bisa mengalami berbagai kesulitan, seperti:

Kesulitan memahami hubungan sosial, yang membuat mereka merasa kesepian atau sering salah paham dalam pergaulan.

Mudah merasa cemas dan stres, karena terus-menerus berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Rentan menjadi korban perundungan (bullying) karena sering tidak memahami maksud tersembunyi dari orang lain.

Bagaimana Orang Tua Bisa Membantu?

Jika Anda merasa anak Anda menunjukkan tanda-tanda kesulitan dalam bersosialisasi atau sering merasa kelelahan setelah berinteraksi dengan teman-temannya, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog atau dokter spesialis anak.

Beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mendukung anak perempuan dengan autisme, antara lain:

Mengamati kebiasaan anak, Perhatikan apakah anak terlihat kesulitan dalam pergaulan atau lebih suka bermain sendiri.

Memberikan lingkungan yang nyaman, Jangan memaksa anak untuk menjadi seperti teman-temannya, tetapi bantu mereka menemukan cara berkomunikasi yang nyaman.

Membantu anak mengenali emosinya, Anak perempuan dengan autisme sering mengalami kecemasan, jadi ajarkan mereka cara mengungkapkan perasaan dengan tenang.

Mencari komunitas pendukung, Bertemu dengan orang tua lain yang memiliki anak dengan kondisi serupa bisa membantu Anda mendapatkan informasi dan dukungan yang dibutuhkan.

Autisme pada anak perempuan sering kali tidak dikenali karena mereka lebih pandai menyesuaikan diri. Namun, jika tidak terdeteksi sejak dini, mereka bisa menghadapi berbagai kesulitan di kemudian hari. Sebagai orang tua, penting bagi kita untuk memahami perbedaan ini dan memberikan dukungan terbaik agar anak bisa tumbuh dengan bahagia dan percaya diri.

Referensi

Bargiela, S., Steward, R., & Mandy, W. (2016). The experiences of late-diagnosed women with autism spectrum conditions: An investigation of the female autism phenotype. Journal of Autism and Developmental Disorders, 46(10), 3281–3294.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Autisme dalam Sejarah

Autisme adalah kondisi perkembangan saraf yang mempengaruhi cara seseorang berinteraksi sosial, berkomunikasi, dan berperilaku. Seiring berjalannya waktu, pemahaman tentang autisme terus berkembang. Memang, kondisi ini sering disalahpahami, tetapi kini semakin banyak penelitian yang mengungkap penyebab dan cara mendukung individu autis. Artikel ini akan membahas sejarah autisme pertama kali dikenal hingga pemahaman modern yang kita miliki saat ini.

Autisme di Masa Lalu

Sebelum dunia medis mengenali autisme, individu dengan perilaku berbeda sering disalahartikan. Pada abad ke-18 dan 19, anak-anak yang mengalami kesulitan berbicara atau berinteraksi sosial dianggap memiliki gangguan mental atau bahkan dikaitkan dengan hal mistis.

Salah satu kasus terkenal adalah Victor dari Aveyron, seorang anak pembohong yang ditemukan di hutan Prancis pada awal tahun 1800-an. Ia karakteristiknya menunjukkan autisme seperti kesulitan dalam komunikasi dan kecepatan pada rutinitas tertentu. Jean-Marc Gaspard Itard, seorang dokter Prancis, mencoba mendidiknya, yang kemudian menjadi salah satu studi awal tentang gangguan perkembangan.

Autisme Mulai Dikenali Secara Medis

Istilah “autisme” pertama kali diperkenalkan oleh Eugen Bleuler, seorang psikiater Swiss, pada tahun 1911. Namun, saat itu ia menggunakannya untuk menggambarkan gejala dalam skizofrenia. Pemahaman tentang autisme sebagai kondisi yang berbeda baru muncul di pertengahan abad ke-20.

  • Tahun 1943

Leo Kanner, seorang psikiater Amerika, meneliti 11 anak dengan kesulitan sosial dan perilaku berulang. Ia menyebut kondisi ini sebagai “gangguan autistik kontak afektif”, yang menjadi dasar pemahaman tentang Autism Spectrum Disorder (ASD).

  • Tahun 1944

Hans Asperger, seorang dokter Austria, mengamati anak-anak dengan karakteristik serupa tetapi memiliki kemampuan bahasa yang baik. Hal ini kemudian dikenal sebagai Sindrom Asperger.

Autisme di Era Modern

Pada tahun 1980-an, autisme secara resmi diakui sebagai gangguan perkembangan dalam DSM-III (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders). Seiring berjalannya waktu, penelitian menunjukkan bahwa autisme memiliki spektrum yang luas, sehingga pada tahun 2013, DSM-5 mengklasifikasikan ulang berbagai kategori autisme ke dalam satu istilah: Autism Spectrum Disorder (ASD).

Kini, autisme dipahami bukan sebagai penyakit yang harus dibudidayakan, melainkan bagian dari keberagaman cara kerja otak manusia ( neurodiversity ). Banyak individu autis yang memiliki keunggulan unik di berbagai bidang seperti seni, teknologi, atau sains. Kesadaran ini membantu mengurangi stigma dan meningkatkan penerimaan terhadap individu autis.

Dari kondisi yang dulu sering disalahpahami hingga kini diakui sebagai bagian dari keberagaman manusia, pemahaman tentang autisme telah berkembang pesat. Orang tua yang memiliki anak autis kini dapat mengakses lebih banyak sumber daya dan dukungan untuk membantu mereka berkembang sesuai potensinya.

Memahami perjalanan sejarah autisme ini dapat membantu kita lebih menerima dan mendukung anak-anak kita dengan lebih baik. Dengan dukungan yang tepat, anak autis dapat tumbuh dan memiliki masa depan yang cerah.

Categories
Artikel ASD

Cara Anak Autisme Belajar Bahasa dengan Caranya Sendiri

Banyak orang tua khawatir ketika anak dengan autisme terlambat berbicara atau tampak kurang tertarik berkomunikasi. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa anak dengan autisme belajar bahasa dengan cara yang berbeda dibandingkan anak lainnya. Mereka tidak hanya belajar dari mendengar orang berbicara, tetapi juga dari pola yang teratur, seperti huruf, angka, atau musik.

Bagaimana Anak dengan Autisme Memahami Bahasa?

Menurut penelitian, anak dengan autisme lebih tertarik pada hal-hal yang memiliki pola berulang, seperti alfabet, angka, atau suara musik, daripada pada percakapan sosial. Hal ini menjelaskan mengapa beberapa anak dengan autisme bisa membaca atau mengenali simbol sebelum mereka mulai berbicara.

Bahkan, ada anak dengan autisme yang memiliki kemampuan luar biasa dalam menghitung tanggal di kalender, menggambar dengan sangat detail, atau memainkan musik tanpa pernah belajar secara formal. Ini terjadi karena mereka lebih mudah memahami pola dan struktur yang jelas dibandingkan bahasa yang sering berubah-ubah dalam percakapan sehari-hari.

Mengapa Beberapa Anak dengan Autisme Bisa Membaca Sebelum Berbicara?

Ada kondisi yang disebut hiperleksia, yaitu ketika anak bisa membaca dengan lancar sebelum memahami maknanya atau sebelum bisa berbicara dengan baik. Ini menunjukkan bahwa anak dengan autisme mungkin lebih mudah belajar bahasa melalui tulisan atau gambar daripada melalui percakapan langsung.

Banyak anak dengan autisme mengalami perkembangan bahasa yang unik, seperti:

  • Lebih tertarik pada pola dan tulisan, Mereka lebih fokus pada huruf, angka, atau suara daripada berkomunikasi langsung.
  • Tidak langsung berbicara, Ada masa di mana mereka tidak banyak bicara, meskipun mungkin sudah memahami beberapa kata.
  • Tiba-tiba bisa berbicara dengan baik, Setelah periode diam, beberapa anak mulai berbicara dengan kalimat lengkap dan jelas.

Bagaimana Orang Tua Bisa Membantu?

Karena anak dengan autisme belajar bahasa dengan cara berbeda, mereka mungkin tidak bisa berkembang hanya dengan sering diajak bicara. Sebagai orang tua, kita bisa mencoba cara lain yang lebih sesuai untuk mereka, seperti:

  • Menggunakan kartu bergambar untuk mengenalkan kata-kata.
  • Membaca buku dengan tulisan besar dan gambar menarik.
  • Menggunakan aplikasi atau video edukasi yang memiliki pola suara dan tulisan yang berulang.
  • Memberikan kesempatan bagi anak untuk menulis atau mengetik jika mereka tertarik.

Anak dengan autisme bukan tidak bisa belajar bahasa, tetapi mereka memiliki cara sendiri dalam memahami dan menggunakannya. Dengan memahami pola belajar mereka, orang tua bisa lebih sabar dan menemukan cara terbaik untuk membantu anak berkembang sesuai dengan potensinya.

Referensi

Mottron, L., Ostrolenk, A., & Gagnon, D. (2021). In prototypical autism, the genetic ability to learn language is triggered by structured information, not only by exposure to oral language. Genes, 12(8), 1112.

Categories
Artikel ASD

Sensory Overload vs Sensory Seeking pada Autisme

Setiap individu mengalami dunia dengan cara yang berbeda, termasuk mereka yang berada dalam spektrum autisme. Salah satu perbedaan utama yang sering terjadi pada individu autis adalah cara mereka memproses informasi sensorik. Beberapa anak autis mungkin merasa senang dengan rangsangan tertentu ( sensory overflow ), sementara yang lain justru mencari lebih banyak rangsangan sensorik (sensory searching ). Memahami Sensory Overload dan Sensory Seeking ini sangat penting agar orang tua dan lingkungan sekitar dapat memberikan dukungan yang tepat.

Sensory Overload (Ketika Rangsangan Terlalu Berlebihan)

Sensory overflow terjadi ketika otak menerima terlalu banyak rangsangan sensorik dalam satu waktu sehingga sulit untuk diproses dengan baik. Ini bisa menyebabkan perasaan cemas, penasaran, atau bahkan ketakutan. Anak dengan sensory overflow bisa terganggu oleh suara keras, cahaya terang, atau bahkan tekstur tertentu pada makanan atau pakaian.

Tanda-tanda kelebihan sensorik pada anak autis:

  • Menutup telinga karena merasa terganggu oleh suara yang bagi orang lain terdengar biasa.
  • Menangis, berteriak, atau bahkan melarikan diri dari situasi yang terlalu ramai.
  • Menghindari sentuhan atau merasa tidak nyaman dengan tekstur pakaian tertentu.
  • Menjadi sangat sensitif terhadap bau atau rasa tertentu dalam makanan.

Jika anak mengalami kelebihan sensorik, penting untuk segera memberikan ruang yang lebih tenang dan nyaman. Orang tua bisa membantu dengan mengurangi gangguan, memberikan waktu istirahat, atau menggunakan alat bantu seperti headphone peredam suara untuk mengurangi kenyamanan.

Pencarian Sensorik (Mencari Lebih Banyak Rangsangan)

Sebaliknya, beberapa anak autis justru memiliki kebutuhan tinggi terhadap rangsangan sensorik, yang dikenal sebagai sensory searching . Mereka mencari pengalaman sensorik tambahan untuk merasa nyaman atau mendapatkan stimulasi yang cukup bagi otak mereka.

Tanda-tanda pencarian sensorik pada anak autis:

  • Sering menyentuh atau memegang benda dengan berbagai tekstur.
  • Suka melompat, melompat, atau memutar tubuh mereka.
  • Menyyukai suara keras atau musik dengan volume tinggi.
  • Mengendus atau mencium benda secara berulang.

Pencarian sensorik bukan sekadar perilaku yang aneh atau tidak wajar. Ini adalah cara alami anak dalam memenuhi kebutuhan sensorik mereka. Oleh karena itu, penting untuk memberikan mereka kesempatan untuk menyalurkan kebutuhan tersebut dengan cara yang aman, seperti bermain di ayunan, berenang, atau menggunakan alat bantu seperti fidget toy.

Bagaimana Cara Membantu Anak dengan Tantangan Sensorik?

  1. Mengenali Pola Sensori Anak
    Setiap anak autis memiliki sensitivitas sensorik yang berbeda-beda. Memahami apakah anak lebih cenderung mengalami kelebihan sensorik atau pencarian sensorik dapat membantu orang tua menyesuaikan lingkungan mereka.
  2. Menyediakan Ruang Aman
    Anak dengan kelebihan sensorik membutuhkan tempat yang tenang, sementara anak yang mencari sensasi sensorik mungkin memerlukan aktivitas yang memungkinkan mereka bergerak dan mengeksplorasi dengan aman.
  3. Menggunakan Alat Bantu Sensorik
    Headphone peredam suara, bola terapi, atau tekstur yang disukai anak bisa menjadi cara yang efektif untuk mengelola ketahanan sensorik mereka.
  4. Bersikap Memahami
    Respons anak terhadap lingkungan bukanlah bentuk kenakalan, tetapi cara mereka beradaptasi dengan dunia. Dengan dukungan yang tepat, mereka bisa merasa lebih nyaman dan berkembang dengan optimal.

Setiap anak autis memiliki pengalaman sensorik yang unik. Dengan memahami perbedaan antara Sensory Overload dan Sensory Seeking, kita dapat membantu mereka merasa lebih nyaman dalam menghadapi dunia di sekitar mereka.

Categories
Artikel ASD

Dampak Autistic Masking pada Kesehatan Mental

Bagi anak dengan autisme, lingkungan sosial sering kali terasa menekan dan menuntut mereka untuk “menyesuaikan diri” agar diterima. Karena ingin menghindari perlakuan tidak menyenangkan atau stigma dari orang lain, banyak anak autis yang akhirnya berusaha menyembunyikan atau menekan perilaku alami mereka. Fenomena ini disebut autistic masking yaitu sebuah upaya untuk terlihat seperti anak-anak lain dengan cara meniru gaya bicara, ekspresi wajah, atau menekan kebiasaan mereka yang khas.

Mengapa Anak Autis Melakukan Autistic Masking?

Sejak kecil, banyak anak autis mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan, seperti diejek, diremehkan, atau bahkan dipaksa untuk berubah agar terlihat lebih “normal.” Akibatnya, mereka merasa perlu berpura-pura agar bisa diterima oleh teman sebaya, keluarga, atau lingkungan sekolah.

Masking bisa muncul dalam berbagai bentuk, misalnya:

  • Berusaha tersenyum atau menunjukkan ekspresi wajah tertentu, meskipun sebenarnya mereka tidak memahami situasi.
  • Menahan diri untuk tidak melakukan kebiasaan khasnya, seperti mengepakkan tangan (stimming) atau menutup telinga saat suara terlalu bising.
  • Memaksa diri untuk berinteraksi dan berbicara dengan cara yang dianggap “wajar,” meskipun hal itu melelahkan bagi mereka.

Tanpa disadari, masking menjadi kebiasaan sehari-hari yang dilakukan demi menghindari komentar negatif atau agar diterima oleh orang lain. Namun, usaha ini sering kali menguras energi secara emosional dan mental.

Dampak Masking terhadap Kesehatan Mental

Walaupun tampaknya membantu anak autis agar lebih mudah berbaur, masking justru bisa membawa dampak buruk bagi kesehatan mental mereka. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin sering seseorang melakukan masking, semakin tinggi risiko mereka mengalami kecemasan, depresi, serta perasaan tidak percaya diri.

Selain itu, masking juga membuat anak autis kesulitan menemukan lingkungan yang benar-benar menerima mereka apa adanya. Mereka mungkin merasa sendirian atau bahkan kehilangan jati diri karena terus berusaha menyesuaikan diri dengan harapan orang lain. Hal ini bisa menyebabkan kelelahan emosional, perasaan terisolasi, hingga menurunnya kualitas hidup mereka.

Pentingnya Menerima Keberagaman Anak dengan Autisme

Alih-alih menuntut anak autis untuk berubah, yang lebih penting adalah menciptakan lingkungan yang menerima mereka apa adanya. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua, guru, dan masyarakat untuk mendukung anak autis tanpa memaksa mereka menyembunyikan jati diri:

Mengenali dan Menghargai Perilaku Alami Anak

Setiap anak autis memiliki cara unik dalam memahami dunia. Daripada melarang mereka melakukan kebiasaan seperti stimming (misalnya mengepakkan tangan atau bergoyang), cobalah untuk memahami bahwa itu adalah cara mereka mengelola emosi dan stres.

Memberikan Ruang Aman untuk Mengekspresikan Diri

Anak autis perlu merasa aman untuk menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi. Orang tua dan guru bisa menciptakan lingkungan yang ramah dengan memberikan dukungan emosional, mendengarkan kebutuhan mereka, dan tidak memaksa mereka mengikuti standar sosial yang tidak sesuai dengan kondisi mereka.

Mengajarkan Orang Lain untuk Lebih Memahami Autisme

Banyak anak autis merasa perlu melakukan masking karena lingkungan sekitar kurang memahami perbedaan mereka. Dengan memberikan edukasi kepada keluarga, teman sebaya, dan guru tentang autisme, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan tidak mudah menghakimi.

Mendukung Identitas Autistik Anak

Anak autis harus merasa bahwa mereka diterima dan dicintai tanpa syarat. Mereka tidak harus berubah menjadi seperti anak lain untuk mendapatkan kasih sayang atau penghargaan dari orang tua dan orang di sekitarnya.

Dengan menciptakan lingkungan yang lebih menerima dan inklusif, anak autis tidak perlu lagi merasa terpaksa menyembunyikan siapa diri mereka sebenarnya. Sebagai orang tua, guru, atau masyarakat, kita bisa membantu mereka tumbuh dengan percaya diri dan bahagia, tanpa harus mengorbankan jati diri mereka.

Referensi

Evans, J. A., Krumrei-Mancuso, E. J., & Rouse, S. V. (2024). What you are hiding could be hurting you: Autistic masking in relation to mental health, interpersonal trauma, authenticity, and self-esteem. Autism in Adulthood.

Categories
Artikel ASD

Pentingnya Intervensi Dini dalam Mengurangi Gejala Autisme

Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan yang mempengaruhi interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku anak sejak usia dini. Gejala ASD bervariasi, mulai dari kesulitan memahami emosi orang lain, kurangnya kontak mata, hingga perilaku repetitif yang berulang. Mengingat dampak yang luas terhadap kehidupan anak, intervensi dini menjadi langkah penting dalam mengurangi gejala autisme dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Intervensi dini mengacu pada terapi atau pendekatan yang dilakukan sejak anak menunjukkan tanda-tanda awal ASD, yang biasanya melibatkan kombinasi metode seperti terapi perilaku, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi sensorik. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang dimulai sebelum usia 4 tahun lebih efektif dibandingkan dengan intervensi yang dimulai setelahnya.

Manfaat Intervensi Dini dalam Mengurangi Gejala Autisme

Penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan sejak dini menghasilkan dampak yang lebih besar dalam mengurangi gejala ASD. Hal ini disebabkan otak anak yang masih sangat plastis memungkinkan penyerapan dan penerapan keterampilan baru secara cepat. Intervensi dini membantu membentuk perilaku yang lebih adaptif, meningkatkan interaksi sosial, dan mengurangi perilaku repetitif, sehingga anak menunjukkan kemajuan yang lebih signifikan dalam penyesuaian sosial dan akademik.

Beberapa manfaat utama intervensi dini meliputi:

  1. Meningkatkan Kemampuan Sosial

Anak dengan ASD sering mengalami kesulitan dalam memahami isyarat sosial dan berinteraksi dengan orang lain. Terapi dini membantu mereka mengembangkan keterampilan sosial melalui permainan interaktif, pelatihan kontak mata, dan penguatan perilaku positif.

  1. Mengurangi Perilaku Repetitif dan Stimulasi Berlebih

Perilaku repetitif seperti mengayunkan tubuh, mengepakkan tangan, atau fokus berlebihan pada satu objek dapat berkurang dengan intervensi yang tepat. Teknik terapi berbasis perilaku, seperti Applied Behavior Analysis (ABA), membantu anak mengganti kebiasaan ini dengan aktivitas yang lebih fungsional.

  1. Memanfaatkan Periode Sensitif Perkembangan Otak

Intervensi dini bekerja dengan memanfaatkan periode sensitif dalam perkembangan otak anak. Pada usia dini, otak masih memiliki tingkat neuroplastisitas tinggi, memungkinkan anak lebih cepat menyerap dan mengadaptasi perilaku yang diajarkan selama terapi.

  1. Meningkatkan Kemandirian dan Kualitas Hidup Anak

Dengan terapi yang tepat, anak dengan ASD dapat lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, mengurangi ketergantungan pada bantuan orang lain, dan meningkatkan kemampuan untuk menjalani kehidupan sehari-hari secara mandiri.

Intervensi dini terbukti efektif dalam mengurangi gejala autisme, terutama dalam meningkatkan interaksi sosial dan mengurangi perilaku repetitif. Dengan memanfaatkan periode perkembangan otak yang optimal, terapi yang diberikan sejak dini dapat membantu anak ASD mencapai potensi terbaiknya. Oleh karena itu, deteksi dini dan akses ke terapi yang tepat harus menjadi prioritas bagi orang tua dan tenaga profesional guna meningkatkan kualitas hidup anak dengan ASD.

Referensi

Maksimović, S., Marisavljević, M., Stanojević, N., Ćirović, M., Punišić, S., Adamović, T., Đorđević, J., Krgović, I., & Subotić, M. (2023). Importance of early intervention in reducing autistic symptoms and speech–language deficits in children with autism spectrum disorder. Children, 10(122).

Categories
Artikel ASD

Terapi Okupasi dalam Mengatasi Selektivitas Makanan pada Anak

Selektivitas makanan atau picky eating merupakan kondisi yang umum dialami oleh anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD). Anak dengan selektivitas makanan cenderung hanya mau mengonsumsi makanan tertentu dan menolak mencoba makanan baru. Hal ini dapat disebabkan oleh sensitivitas sensorik terhadap tekstur, aroma, atau rasa makanan tertentu, serta kebutuhan akan rutinitas yang tetap.

Ketidakvariasian makanan yang dikonsumsi dapat berdampak pada asupan gizi anak. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat untuk membantu anak agar lebih nyaman saat makan dan mau mencoba makanan yang lebih beragam. Salah satu pendekatan yang terbukti efektif adalah terapi okupasi.

Mengapa Anak dengan ASD Mengalami Selektivitas Makanan?

Anak dengan ASD sering memiliki permasalahan sensorik yang memengaruhi pola makan mereka, seperti:

  • Sensitivitas terhadap tekstur makanan (misalnya, tidak menyukai makanan yang terlalu lembut atau terlalu renyah).
  • Reaksi negatif terhadap bau atau rasa makanan tertentu.
  • Kecenderungan untuk mempertahankan rutinitas, sehingga enggan mencoba makanan baru.

Hal ini membuat anak hanya ingin mengonsumsi makanan tertentu yang sudah dikenalnya, yang dapat berpengaruh terhadap keseimbangan gizi dan kesehatan secara keseluruhan.

Bagaimana Terapi Okupasi Membantu?

Terapi okupasi berperan dalam membantu anak ASD mengatasi selektivitas makanan dengan cara membuat mereka lebih nyaman dan terbuka terhadap pengalaman makan yang baru. Beberapa metode yang digunakan dalam terapi okupasi antara lain:

  1. Stimulasi Sensorik dan Pendekatan Bertahap

Terapi okupasi sering kali melibatkan stimulasi sensorik untuk membantu anak beradaptasi dengan berbagai tekstur dan rasa makanan. Pendekatan ini dapat mencakup:

  • Aktivitas sensorik sebelum makan, seperti bermain dengan benda bertekstur untuk membantu anak terbiasa dengan sensasi berbeda.
  • Pengenalan makanan secara bertahap, dimulai dari melihat, menyentuh, mencium, hingga mencicipi makanan baru tanpa paksaan.
  1. Melibatkan Orang Tua dalam Proses Makan

Keterlibatan orang tua sangat penting dalam menangani selektivitas makanan pada anak ASD. Terapis okupasi dapat membantu dengan:

  • Memberikan pelatihan kepada orang tua mengenai strategi menciptakan lingkungan makan yang nyaman dan tanpa tekanan.
  • Menggunakan metode coaching, di mana orang tua mendapatkan panduan dan umpan balik mengenai cara menangani kebiasaan makan anak secara efektif.
  1. Strategi Kombinasi Makanan

Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah mengombinasikan makanan yang sudah disukai dengan makanan baru. Contohnya, jika anak menyukai ayam goreng, orang tua dapat perlahan menambahkan sayuran dalam porsi kecil sebagai pendampingnya. Dengan cara ini, anak secara bertahap dapat menerima variasi makanan yang lebih luas.

Manfaat Terapi Okupasi dalam Mengatasi Selektivitas Makanan

Terapi okupasi memberikan berbagai manfaat bagi anak dengan ASD, terutama dalam membantu mereka merasa lebih nyaman dan tidak tertekan saat makan. Dengan pendekatan yang tepat, terapi ini juga dapat meningkatkan keberanian anak untuk mencoba makanan baru serta mengurangi perilaku makan yang menantang atau reaksi penolakan ekstrem terhadap makanan tertentu. Selain itu, terapi okupasi berperan dalam menciptakan interaksi yang lebih positif antara anak dan orang tua saat makan bersama, sehingga suasana makan menjadi lebih menyenangkan dan mendukung perkembangan kebiasaan makan yang lebih sehat.

Selektivitas makanan pada anak ASD memang dapat menjadi tantangan bagi orang tua, tetapi dengan pendekatan yang tepat dan dukungan dari terapis okupasi, anak dapat secara bertahap menerima variasi makanan yang lebih luas dan memenuhi kebutuhan gizinya dengan lebih baik. Oleh karena itu, jika anak Anda mengalami selektivitas makanan, berkonsultasilah dengan terapis okupasi untuk mendapatkan strategi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.

Referensi

Reche-Olmedo, L., Torres-Collado, L., Compañ-Gabucio, L. M., & Garcia-de-la-Hera, M. (2021). The role of occupational therapy in managing food selectivity of children with autism spectrum disorder: A scoping review. Children, 8(11), 1024.

Categories
Artikel ASD

Keterlambatan Motorik pada Anak dengan Autisme

Banyak orang tua mungkin sudah tahu bahwa anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) memiliki tantangan dalam komunikasi dan interaksi sosial. Namun, tahukah Anda bahwa sebagian besar anak dengan ASD juga mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik mereka?

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Beth Provost, Brian R. Lopez, dan Sandra Heimerl menunjukkan bahwa semua anak dengan ASD dalam studi mereka mengalami gangguan motorik, baik dalam keterampilan motorik kasar (seperti berjalan dan melompat) maupun keterampilan motorik halus (seperti memegang pensil atau mengancingkan baju).

Apa Itu Keterlambatan Motorik?

Keterlambatan motorik terjadi ketika seorang anak lebih lambat dalam mengembangkan kemampuan gerak dibandingkan anak seusianya. Ada dua jenis keterampilan motorik yang penting:

  • Motorik kasar: Kemampuan mengontrol gerakan tubuh besar, seperti berlari, melompat, atau naik tangga.
  • Motorik halus: Kemampuan menggunakan tangan dan jari untuk tugas yang lebih detail, seperti menulis, mengikat tali sepatu, atau menyusun balok kecil.

Anak dengan ASD Cenderung Mengalami Keterlambatan dalam Bergerak

Autism Spectrum Disorder (ASD) sering mengalami kesulitan dalam mengembangkan keterampilan motorik mereka. Keterlambatan ini bisa terjadi dalam gerakan besar, seperti berjalan, melompat, atau berlari, maupun dalam gerakan kecil yang membutuhkan koordinasi tangan dan jari, seperti menggambar atau mengancingkan baju.

Menariknya, keterlambatan motorik pada anak dengan ASD ternyata mirip dengan anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan lainnya. Artinya, tantangan dalam bergerak bukan hanya dialami oleh anak dengan ASD, tetapi juga oleh anak-anak dengan kondisi perkembangan yang berbeda. Namun, anak-anak yang tidak mengalami keterlambatan motorik menunjukkan kemampuan bergerak yang jauh lebih baik dibandingkan anak dengan ASD dan anak dengan keterlambatan perkembangan lainnya.

Keterlambatan ini perlu diperhatikan karena banyak aktivitas sehari-hari dan interaksi sosial anak melibatkan gerakan tubuh. Jika seorang anak mengalami kesulitan dalam bergerak, mereka mungkin akan kesulitan bermain dengan teman sebaya atau melakukan tugas sederhana seperti memakai pakaian sendiri. Oleh karena itu, orang tua perlu mengenali tanda-tanda keterlambatan motorik sejak dini. Dengan memberikan stimulasi yang sesuai, anak dapat berkembang lebih optimal.

Mengapa Keterlambatan Motorik Perlu Diperhatikan?

Banyak aktivitas anak-anak melibatkan gerakan, seperti bermain bola, berlari, atau menggambar. Jika seorang anak mengalami kesulitan dalam keterampilan motoriknya, hal ini bisa membuat mereka sulit bermain dengan teman sebaya dan belajar keterampilan lain.

Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan ASD yang mengalami keterlambatan motorik cenderung menghadapi kesulitan dalam keterampilan sosial. Selain itu, mereka juga dapat mengalami hambatan dalam komunikasi.Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memperhatikan perkembangan motorik anak sejak dini.

Keterlambatan motorik bukan tanda utama autisme, tetapi hampir semua anak dengan ASD mengalami kesulitan dalam bergerak. Gerakan tubuh berhubungan erat dengan keterampilan sosial dan kemandirian anak. Oleh karena itu, orang tua perlu memberikan perhatian khusus pada perkembangan motorik anak sejak dini.

Referensi

Provost, B., Lopez, B. R., & Heimerl, S. (2007). A comparison of motor delays in young children: Autism spectrum disorder, developmental delay, and developmental concerns. Journal of Autism and Developmental Disorders, 37(3), 321–328.

Categories
Artikel ASD

Kesalahan Berkomunikasi dengan Anak Nonverbal

Berkomunikasi dengan Anak Nonverbal membutuhkan pendekatan yang tepat agar mereka merasa dipahami dan dihargai. Anak nonverbal mungkin tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi mereka tetap memiliki cara untuk menyampaikan pikiran dan perasaan. Sayangnya, ada beberapa kesalahan saat berkomunikasi dengan anak nonverbal yang sering dilakukan saat berinteraksi dengan mereka.

Berikut adalah beberapa kesalahan umum yang harus dihindari ketika Berkomunikasi dengan Anak Nonverbal

  1. Mengabaikan Upaya Komunikasi Anak

Anak nonverbal berkomunikasi dengan berbagai cara, seperti gerakan tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, atau menggunakan alat bantu komunikasi. Salah satu kesalahan terbesar adalah tidak mengenali atau merespons upaya komunikasi mereka, yang dapat membuat anak merasa diabaikan dan frustrasi.

Solusi: Perhatikan dengan cermat setiap ekspresi dan gerakan anak, serta beri respons yang sesuai agar mereka merasa dihargai.

  1. Tidak Memberikan Waktu yang Cukup

Beberapa orang terburu-buru saat berkomunikasi dengan anak nonverbal, mengharapkan respons yang cepat. Padahal, anak mungkin butuh lebih banyak waktu untuk memproses informasi dan merespons.

Solusi: Bersabarlah dan berikan cukup waktu agar anak dapat mengekspresikan diri tanpa tekanan.

  1. Berbicara Terlalu Cepat atau Menggunakan Kalimat yang Rumit

Menggunakan kalimat panjang atau kata-kata yang sulit dipahami dapat membuat anak nonverbal kesulitan mengerti pesan yang disampaikan.

Solusi: Gunakan bahasa yang sederhana, jelas, dan singkat. Jika memungkinkan, gunakan isyarat atau alat bantu komunikasi untuk memperjelas maksud.

  1. Tidak Menggunakan Alat Bantu Komunikasi yang Sesuai

Beberapa anak nonverbal menggunakan alat bantu komunikasi seperti kartu gambar (PECS), bahasa isyarat, atau aplikasi komunikasi. Kesalahan yang sering terjadi adalah tidak menyediakan atau tidak menggunakan alat bantu ini dalam interaksi sehari-hari.

Solusi: Kenali alat komunikasi yang digunakan anak dan pastikan untuk menggunakannya secara konsisten dalam interaksi.

  1. Berasumsi bahwa Anak Tidak Mengerti

Banyak orang berpikir bahwa karena seorang anak tidak bisa berbicara, mereka juga tidak bisa memahami apa yang dikatakan. Ini adalah asumsi yang keliru dan dapat menghambat hubungan dengan anak.

Solusi: Berkomunikasilah dengan anak sebagaimana Anda berkomunikasi dengan anak lainnya. Gunakan nada suara yang hangat dan penuh perhatian.

  1. Tidak Menjaga Kontak Mata dan Ekspresi Wajah

Beberapa orang berbicara kepada anak nonverbal tanpa kontak mata atau ekspresi wajah yang mendukung, sehingga komunikasi terasa kurang hangat dan kurang menarik perhatian anak.

Solusi: Gunakan ekspresi wajah yang ramah, lakukan kontak mata dengan lembut, dan gunakan bahasa tubuh yang mendukung agar anak lebih mudah memahami pesan yang disampaikan.

  1. Menganggap Anak Tidak Bisa Berkomunikasi Sama Sekali

Sebagian orang mungkin merasa putus asa atau tidak mencoba memahami cara komunikasi anak nonverbal. Akibatnya, mereka tidak berusaha membangun interaksi yang bermakna.

Solusi: Cari tahu cara komunikasi yang nyaman bagi anak, apakah melalui gerakan, ekspresi, alat bantu, atau metode lain. Semua anak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi jika diberikan dukungan yang tepat.

Anak nonverbal tetap memiliki keinginan untuk berkomunikasi dan terhubung dengan lingkungan sekitarnya. Dengan memahami dan menghindari kesalahan-kesalahan di atas, kita dapat menciptakan lingkungan komunikasi yang lebih inklusif, penuh perhatian, dan mendukung perkembangan anak. Dengan kesabaran dan pendekatan yang tepat, setiap anak dapat merasa dihargai dan didengar, meskipun mereka tidak menggunakan kata-kata untuk berbicara.

Categories
Artikel ASD Post Utama

Memahami Tiga Tingkat Keparahan ASD

Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan kondisi perkembangan saraf yang mempengaruhi interaksi sosial, komunikasi serta perilaku individu. Berdasarkan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke-5), ASD tidak lagi mempersempit diagnosis yang berbeda seperti Asperger’s Syndrome atau PDD-NOS, melainkan sebagai satu spektrum dengan tiga tingkat keparahan.

Berikut penjelasan tiga Tingkat keparahan pada Autism Spectrum Disorder (ASD):

Level 1 – Membutuhkan dukungan (Membutuhkan Dukungan)

Individu dengan ASD level 1 memiliki kesulitan dalam interaksi sosial tetapi masih bisa berkomunikasi secara verbal. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam memulai percakapan, mempertahankan interaksi sosial, atau memahami peraturan sosial. Selain itu, mereka juga memiliki pola perilaku repetitif dan minat yang terbatas, meskipun dalam tingkat ringan.

Pada level ini, diperlukan intervensi, yaitu :

  • Terapi perilaku kognitif (CBT) untuk membantu dalam mengelola kecemasan sosial dan fleksibel dalam berpikir.
  • Pelatihan keterampilan sosial, untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain.
  • Dukungan akademik atau pekerjaan, untuk membantu mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah atau tempat kerja.
  • Terapi okupasi, untuk membantu mengatasi pertahanan sensorik dan aktivitas sehari-hari.

Level 2 – membutuhkan dukungan substansial (Membutuhkan Dukungan Substansial)

Pada Tingkat ini, individu menunjukkan yang lebih signifikan dalam komunikasi sosial dan interaksi. Mereka mungkin hanya bisa melakukan percakapan terbatas atau memiliki ekspresi emosional yang kaku. Selain itu, mereka memiliki perilaku berulang yang lebih mencolok, seperti terus kuat pada rutinitas atau reaksi berlebihan terhadap perubahan lingkungan.

Pada level ini, diperlukan intervensi, yaitu :

  • Terapi wicara dan komunikasi, untuk membantu dalam penggunaan bahasa verbal maupun nonverbal.
  • Analisis perilaku terapan (ABA), untuk membantu mengurangi perilaku berulang yang menghambat serta meningkatkan keterampilan sosial.
  • Terapi okupasi dan sensorik, untuk menangani sensitivitas sensorik yang berlebihan, atau kurang responsif terhadap rangsangan lingkungan.
  • Pendekatan Pendidikan khusus, agar anak dapat belajar secara optimal.

Level 3 – membutuhkan dukungan yang sangat substansial (Membutuhkan Dukungan yang Sangat Substansial)

Individu dengan ASD Level 3 mengalami kesulitan komunikasi sosial yang sangat signifikan. Mereka mungkin memiliki keterbatasan berbicara atau bahkan nonverbal sama sekali. Pola perilaku berulang sangat mengganggu aktivitas sehari-hari, dan mereka sering kali mengalami kesulitan besar dalam beradaptasi dengan perubahan.

Pada level ini, diperlukan intervensi, yaitu :

  • Pendekatan komunikasi alternatif seperti PECS (Picture Exchange Communication System) atau perangkat AAC (Augmentative and Alternative Communication).
  • Terapi perilaku intensif, seperti ABA dalam durasi yang lebih lama, untuk membantu mengembangkan keterampilan dasar komunikasi dan sosial.
  • Terapi okupasi dan sensorik untuk mengatasi tantangan dalam respon sensorik, baik itu hipersensitivitas maupun hipersensitivitas.
  • Dukungan penuh bantuan dalam aktivitas sehari-hari, termasuk dalam keterampilan hidup mandiri seperti berpakaian, makan, dan kebersihan diri.

Setiap individu penderita ASD memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, tergantung pada tingkat keparahannya. Dengan intervensi yang tepat, mereka dapat mengembangkan keterampilan yang memungkinkan mereka beradaptasi dengan lingkungan sosial dan kehidupan sehari-hari. Dukungan dari keluarga, terapis, dan tenaga pendidik sangat penting untuk membantu individu penderita ASD mencapai potensi terbaik mereka.

Referensi

Posar, A., Resca, F., & Visconti, P. (2015). Autisme menurut manual diagnostik dan statistik gangguan mental edisi ke-5: Perlunya perbaikan lebih lanjut. Jurnal Neurosains Pediatrik, 10 (2), 146–148.

Buka WhatsApp
Klik Untuk Ke Wa
Halo! Apa yang bisa saya bantu